POCONG BAPAK

DaraTresnaAnjas
Chapter #9

HUTANG

Pak Iwan akhirnya menerima dan menepuk bahu Bisma dengan lembut. “Turut berduka lagi ya, Mas Bisma. Almarhum itu orang baik.”

Setelah mereka berpamitan dan kembali menuruni jalan kecil di samping rumah, Bisma masuk lagi ke dalam. Dapur sudah cukup rapi. Ia membuka lemari dan menemukan sebuah toples berisi kopi, serta dua bungkus gula pasir di atasnya. Tampaknya warga memang menyumbang banyak.

Bisma menyeduh kopi, lalu duduk di kursi rotan dekat jendela. Satu seruput, matanya menatap kosong ke arah pohon mangga tua di pekarangan. Kenangan bersama Bapak kembali hadir seperti slide presentasi. Suara tawa Bapak, nasihat-nasihat khasnya, semuanya kini tinggal gema.

Ting tong!

Bel pagar ditekan. Bisma bangkit, masih menggenggam mug kopi di tangannya. Ia mengintip melalui celah jendela.

“Pakde Umar…” gumamnya, lalu berjalan membuka pagar.

Pakde Umar tiba dengan sepeda motor bebek tua, membawa rantang biru besar di tangan kirinya. Rambutnya yang semakin memutih tertutup oleh peci batik, wajahnya tampak lelah namun tetap ramah.

“Pagi, Le…”

“Pagi, Pakde. Masuk, ayo. Tumben bawa rantang?”

“Ini ada sayur lodeh sama tempe bacem. Sama telur balado dikit. Biar kamu nggak makan roti mulu.”

Bisma tertawa kecil. “Terbaca, ya?”

“Dari kecil kamu memang males makan nasi kalau sendirian,” kata Pakde sambil meletakkan rantang di atas meja makan..

Mereka duduk berdua di ruang tengah, dengan secangkir kopi tambahan yang telah disiapkan untuk Pakde Umar.

“Pakde Karto belum datang?” tanya Pakde Umar sambil meniup kopinya.

“Belum. Mungkin masih salat dulu,” jawab Bisma.

Lihat selengkapnya