POCONG BAPAK

DaraTresnaAnjas
Chapter #10

BISMA KETEMU ANYA

Pakde Karto mencolek bahu Bisma. “Kalau kamu kuat dan sempat, temui saja mereka satu per satu. Bukan buat maksa, tapi biar mereka tahu, kita ingat. Kita nggak buta.”

Bisma mengangguk perlahan. Matanya kembali menelusuri daftar nama. Setiap huruf seakan memiliki jejak luka kecil yang ditinggalkan oleh ayahnya. Dan kini... luka itu diwariskan kepadanya.

“Besok... aku coba temui satu-satu, Pakde,” ujarnya.

“Mungkin mereka butuh diingatkan. Biar nggak lupa... kalau mereka masih punya tanggungan sama orang yang sudah mereka doakan semalam.”

Pakde Karto dan Pakde Umar saling bertukar pandang, kemudian mengangguk dalam keheningan.

Angin berembus perlahan, menggoyangkan dedaunan melinjo.

Dan pagi itu, Bisma menyadari... bahwa tidak semua duka berasal dari kuburan. Ada juga yang datang dari hati manusia yang berpura-pura peduli.


•••

Menjelang sore, Bisma beranjak dari rumah yang dititipkannya kepada Bude Aminah dan Bude lainnya yang sibuk mengatur menu makanan untuk doa selepas maghrib nanti.

Bisma mengendarai mobil SUV-nya untuk berkeliling melihat tempat-tempat yang dulu pernah ia singgahi sambil mencari udara segar di desa.

Perjalanan menuju kaki gunung, disana ternyata banyak penjaja makanan kaki lima yang ramai dikunjungi oleh wisatawan asing dan lokal. Bisma parkir mobil dan kemudian dia berjalan kaki sambil melihat keramaian. Udara sejuk di bawah kaki gunung bikin lapar perut. Salah satu gerobak bakso, yang tidak begitu ramai dikunjungi menjadi sasaran Bisma untuk menikmati bakso.

Bisma duduk dan memesan bakso tanpa menatap kembali penjual yang baru saja menanyakan keinginannya, karena ia sibuk menatap ponselnya dan membalas email.

“Ada bakso daging, urat, telur, jumbo dan komplit, pilih mana mas?”

Suara itu terdengar lembut, namun jelas, langsung mengalihkan perhatian Bisma yang sedang mengetik balasan email melalui ponselnya.

Bisma perlahan mengangkat kepala. Matanya bertemu dengan wajah seorang perempuan muda yang berdiri di belakang gerobak biru yang mulai berkarat di beberapa bagian. Rambutnya dikuncir tinggi, mengenakan kaos longgar dengan logo pudar yang nyaris tak terbaca, serta rok plisket hitam yang sederhana. Namun, senyumnya? Cerah dan ramah, seperti suasana sore itu.

“Eh... Kamu aja, ya.”

Lihat selengkapnya