Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #1

Kepompong Kuning di Atas Jakarta

Saat kesadarannya kembali, Bima tidak merasa seperti bangun dari tidur. Ia bisa berpikir dan mengingat namanya, namun semua yang seharusnya ia rasakan sebagai manusia telah hilang. Ia tidak merasakan jantungnya berdetak atau udara di sekitarnya. Pikirannya terasa utuh, namun terpisah dari dunia. Ia seperti sebuah pikiran yang melayang sendirian di tengah kesunyian.

Angin malam Jakarta, yang seharusnya terasa dingin di ketinggian ini, namun pada dirinya sama sekali tidak meninggalkan jejak gigil pada kulit yang tak lagi ia miliki. Ia berdiri di atas hamparan atap sebuah gedung perkantoran tua yang terlantar, namun ia tak bisa merasakan tekstur kasar itu di bawah kakinya yang tak lagi menapak. Ia hanya ingat bagaimana rasanya. Ingatan akan sensasi fisik adalah satu-satunya bukti bahwa ia pernah hidup, dan kini ingatan itu adalah siksaan pertamanya.

Sebuah dorongan purba untuk bergerak, untuk lari, untuk melawan membuatnya sadar akan penjara barunya. Ia terkurung. Bukan oleh jeruji besi, melainkan oleh balutan kain yang kaku dan terasa asing. Ia terpenjara di dalam sebuah kepompong kain, diikat dengan ketat di titik-titik krusial yang menandai akhir sebuah perjalanan manusia. Diikat di kepala, leher, dan kaki.

Ikatan di atas kepalanya menciptakan koridor pandang yang sempit, memaksanya melihat dunia dari sebuah terowongan. Ikatan di dadanya memberikan ilusi sesak pada paru-paru yang tak lagi menarik napas. Aroma yang menguar dari kain itu adalah parfum kematian itu sendiri, campuran wangi kapur barus yang tajam menusuk memori, dan bau tanah basah yang lembap dan final.

Dengan sebuah pergeseran perspektif yang menggantikan gerakan leher, ia menatap tubuhnya. Kain kafan putih gading, sedikit kusam, membungkusnya rapat. Ia adalah sebuah paket, sebuah bingkisan yang dikembalikan oleh takdir tanpa alamat tujuan.

Ia adalah pocong.

Pengakuan itu menghantamnya bukan dengan teror yang berisik, melainkan dengan kepanikan sunyi yang merayap. Sebuah gelombang dingin menjalari esensinya, sebuah jeritan mental yang tak memiliki pita suara untuk dilampiaskan, bergema di dalam tempurung kesadarannya yang kosong.

Bagaimana?

Mengapa aku?

Di mana?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar seperti kawanan burung gagak di langit batinnya, tanpa sekalipun hinggap untuk memberikan jawaban.

Lihat selengkapnya