Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #2

Gema Sebuah Jawaban "Iya"

Malam-malam berikutnya setelah kesadaran pertamanya adalah sebuah pelajaran tentang kekosongan. Bima belajar bahwa menjadi arwah bukan berarti bebas, melainkan terikat pada aturan-aturan baru yang kejam. Ia tidak bisa menyentuh, tidak bisa berbicara, tidak bisa merasakan. Ia hanyalah sebuah kesadaran yang melayang, seorang narator bisu bagi dunia yang terus berputar tanpanya. Ia menghabiskan waktunya dengan berkelana tanpa tujuan, sebuah partikel debu tak kasat mata yang terbawa angin malam Jakarta.

Perjalanannya adalah sebuah ziarah sunyi melintasi kehidupan orang lain. Ia melayang menembus dinding sebuah rumah sakit, melewati koridor yang bau desinfektan. Di balik sebuah kaca, ia melihat seorang bayi mungil yang baru lahir, kulitnya kemerahan, menangis dengan segenap kekuatan paru-parunya. Di ruangan lain, seorang lelaki tua terbaring dengan napas yang tersengal, dikelilingi oleh keluarga yang menangis dalam diam. Kelahiran dan kematian, dua kutub kehidupan yang kini sama jauhnya dari jangkauannya. Ia adalah anomali yang tidak termasuk dalam siklus itu.

Ia menembus gerbong kereta komuter yang padat di malam hari. Ia melihat wajah-wajah lelah para pekerja, tatapan mereka kosong, terpaku pada ponsel atau pada kegelapan di luar jendela. Mereka semua terburu-buru untuk pulang ke suatu tempat, ke seseorang. Bima tidak lagi punya tempat untuk pulang. Rumahnya kini adalah kerinduan itu sendiri, sebuah bangunan tanpa dinding dan atap.

Nama "Mei-Mei" terus menjadi pusat dari labirin penderitaannya. Nama itu adalah sebuah gema tanpa sumber, sebuah luka tanpa senjata. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada nama itu, untuk menggali lebih dalam, yang ia temukan hanyalah kabut tebal yang menyakitkan. Siapakah dia? Mengapa namanya terasa seperti kunci dari seluruh keberadaannya yang hancur ini? Ia tidak tahu, dan ketidaktahuan itu adalah siksaan yang lebih berat daripada ikatan kain kafan di tubuhnya.

Suatu malam, perjalanannya yang acak membawanya ke sebuah taman kota kecil yang terhimpit di antara gedung-gedung perkantoran. Taman itu sepi, hanya diterangi oleh beberapa lampu taman berwarna kuning yang cahayanya tampak lelah. Udara terasa lembap, sisa dari hujan sore yang baru saja reda. Di sinilah, di tengah keheningan yang hampir sempurna, ia melihat sebuah adegan yang membuatnya berhenti.

Di sebuah bangku kayu yang catnya sudah mengelupas, duduk sepasang muda-mudi. Mereka tidak tertawa. Mereka berada dalam sebuah momen yang begitu tegang dan privat, Bima merasa seperti seorang pengganggu, bahkan dalam wujudnya yang tak kasat mata. Sang lelaki menggenggam kedua tangan sang gadis, tubuhnya mencondong ke depan, matanya memohon, suaranya yang lirih nyaris tak terdengar. Sang gadis, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rambutnya yang panjang menutupi wajahnya, bahunya sedikit bergetar. Sebuah adegan pengakuan, sebuah momen di mana dua hati dipertaruhkan di bawah lampu taman yang redup.

Pemandangan seorang pemuda yang menyerahkan seluruh hatinya dan seorang gadis yang bimbang di ambang sebuah jawaban, terasa begitu familier. Adegan itu adalah cermin yang memantulkan sesuatu yang terkubur sangat dalam di lubuk jiwa Bima. Sesuatu yang begitu kuat, begitu krusial. Getaran dari emosi mereka di taman itu beresonansi dengan gema di dalam dirinya, dan getaran itu merobek tabir waktu.

Dunia di sekeliling Bima bergetar. Suara jangkrik dan deru lalu lintas yang jauh melebur menjadi satu dengungan panjang. Cahaya lampu taman yang kuning dan temaram meledak menjadi cahaya putih yang terang benderang, menyilaukan dan hangat. Ia terhempas, ditarik mundur ke sebuah momen yang akan mendefinisikan sisa hidupnya dan kematiannya.

Riuh rendah kantin Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya terasa seperti musik yang hidup di telinganya. Ia kembali ke tubuhnya yang dulu, merasakan kursi kayu yang keras, panasnya gelas teh di tangannya, dan genggamannya yang sedikit berkeringat di tangan Mei-Mei. Ia baru saja mengucapkan kalimat paling menakutkan sekaligus paling jujur dalam hidupnya: "Maukah kamu menjadi bagian dari cerita hidupku?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan sebuah pulau keheningan di tengah lautan kebisingan kantin. Seluruh alam semesta Bima kini menyusut, terpusat pada satu hal, jawaban dari gadis di hadapannya. Ia melihat Mei-Mei menarik pandangannya. Gadis itu menatap kosong ke arah gelas es tehnya yang berembun, seolah jawaban yang ia cari ada di sana. Rambut lurusnya yang hitam jatuh lembut di pipinya, menyembunyikan ekspresinya. Detik-detik yang berlalu terasa seperti jam pasir yang mengalirkan butiran timah panas ke dalam lambung Bima.

Akhirnya, sebuah jawaban keluar dari bibirnya. Begitu pelan hingga nyaris hilang ditelan suara tawa dari meja sebelah.

Lihat selengkapnya