Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #3

Aroma Kopi dan Gema Melodi

Tekad adalah sebuah mesin baru yang mendorong Bima. Ia tidak lagi melayang pasrah, terombang-ambing oleh angin duka. Kini ada tujuan dalam gerakannya, sebuah niat yang tajam yang membelah kebekuan eksistensinya. Kenangan akan jawaban "Iya" dari Mei-Mei telah menjadi sebuah jangkar sekaligus kompas. Jangkar yang menghentikan keterpurukannya dalam keputusasaan, dan kompas yang kini harus ia pelajari cara membacanya.

Ia tahu di mana harus memulai. Tempat di mana kenangan paling kuat itu lahir. Dengan memfokuskan seluruh kesadarannya pada citra kantin sastra yang hangat dan riuh, ia merasakan dunia di sekelilingnya bergeser. Perjalanannya kembali ke kampus bukan lagi sebuah pergerakan acak, melainkan sebuah lompatan kuantum yang didorong oleh niat. Dalam sekejap, ia telah meninggalkan taman kota yang sepi dan kini berdiri di bawah pohon flamboyan yang sama, di depan fakultasnya yang kini gelap dan sunyi.

Kampus di malam hari adalah sebuah tempat yang sama sekali berbeda. Bangunan-bangunan yang di siang hari penuh dengan hiruk pikuk intelektual dan canda tawa, kini berdiri sebagai monolit-monolit beton yang membisu. Koridor-koridor yang biasanya ramai oleh lalu lalang mahasiswa kini menjadi lorong-lorong panjang yang dipenuhi bayangan. Hanya beberapa lampu keamanan yang menyala, cahayanya yang pucat justru semakin menonjolkan kesunyian dan kehampaan tempat itu. Ini adalah panggung yang telah ditinggalkan oleh para aktornya, sebuah museum dari kehidupannya yang telah usai.

Bima mendekati kantin. Pintunya yang terbuat dari teralis besi terkunci rapat dengan gembok besar yang berkarat. Di dalamnya, kursi-kursi kayu dinaikkan terbalik di atas meja-meja, sebuah pemandangan yang rapi namun terasa seperti pemakaman perabotan. Tempat yang di dalam ingatannya begitu hidup, kini mati suri. Ia tahu Mei-Mei tidak ada di sini secara fisik. Tapi ia berharap bisa menemukan jejaknya, sebuah sisa energi, sebuah gema dari kehadirannya.

Ia melakukan apa yang terasa paling alami. Ia memejamkan matanya, memanggil kembali kenangan akan jawaban "Iya" itu. Ia mencoba mengabaikan gambarnya, dan fokus pada sensasi lain yang menyertainya. Apa yang ia rasakan saat itu? Selain kebahagiaan, ada hal lain. Ada aroma khas dari mesin espreso tua di pojok kantin yang selalu dipesan Mei-Mei. Kopi hitam pekat tanpa gula, yang menurutnya adalah "bahan bakar untuk otak". Bima, yang lebih menyukai teh manis, tidak pernah menyukai aroma itu. Tapi sekarang, ia memanggil aroma pahit itu dengan segenap kerinduannya.

Dan ia menemukannya, bukan aroma sungguhan. Ini lebih seperti sebuah "jejak bau" di alam tak kasat mata. Sangat tipis, nyaris tak ada. Tapi itu nyata baginya. Sebuah utas aroma kopi yang samar, melayang keluar dari kantin yang terkunci, dan mengarah ke satu arah. Dengan semangat yang baru ditemukan, Bima mulai mengikuti utas tak kasat mata itu.

Jejak itu membawanya menjauhi Fakultas Sastra. Ia melintasi pelataran pusat kegiatan mahasiswa yang kosong, melewati lapangan basket yang ringnya tampak meratap dalam kesunyian. Utas aroma itu membawanya menyusuri jalan setapak utama kampus, tempat di mana ia dan Mei-Mei sering berjalan sambil berdebat tentang segala hal, dari puisi Sutardji Calzoum Bachri hingga teori-teori Sigmund Freud. Setiap langkah di jalan ini adalah sebuah tusukan kenangan kecil. Di sini ia pernah membelikannya es mambo. Di sana mereka pernah berteduh dari hujan. Di bangku itu mereka pernah duduk hingga larut malam, hanya untuk melihat bintang.

Jejak aroma kopi itu semakin kuat saat ia mendekati sebuah gedung besar dan megah yang menjadi jantung dari universitas, gedung Perpustakaan Pusat. Gedung berlantai lima itu tampak seperti raksasa yang tertidur di tengah kegelapan. Bima merasakan tarikan itu berhenti di depan pintu kaca raksasanya yang terkunci. Di sinikah jejaknya berakhir?

Saat ia berdiri di sana, kebingungan, sebuah aroma lain menyambutnya. Aroma yang begitu khas dari tempat ini. Aroma ribuan buku, dari kertas-kertas tua yang menguning dan kertas-kertas baru yang masih tajam. Campuran antara debu, pengetahuan, dan keheningan. Kombinasi antara jejak aroma kopi yang ia ikuti dan aroma buku yang kini menyelimutinya menciptakan sebuah resonansi yang kuat. Realitas tak kasat matanya kembali bergetar.

Lihat selengkapnya