Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #4

Rumah Duka Berdinding Hitam

Gema melodi cinta dari masa lalu adalah sebuah pemandu yang kejam. Semakin Bima mengikutinya, semakin ia merasa ditarik menjauh dari dunia yang pernah ia kenali. Ia meninggalkan jalanan yang teratur dan lingkungan kampus yang familier, masuk lebih dalam ke jantung kota yang lebih tua, lebih padat, dan lebih kacau.

Arsitektur modern perlahan-lahan menyerah pada bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang tampak lelah, dinding-dindingnya mengelupas, diapit oleh ruko-ruko yang dibangun tanpa aturan yang jelas. Gang-gang sempit dan gelap bercabang dari jalan utama seperti retakan pada tulang, beberapa di antaranya masih dihiasi oleh sisa-sisa lampion merah yang telah kusam, saksi bisu dari sebuah perayaan yang telah lama berlalu.

Melodi yang bergema di dalam kesadarannya mulai berubah. Lagu cinta yang tadinya terdengar jernih dan penuh kehangatan, kini mulai terdistorsi. Ada nada-nada sumbang yang menyusup di antaranya, seperti siaran radio yang kehilangan sinyal. Sesekali, di sela-sela suara vokal Ari Lasso yang melengking, Bima seolah mendengar bisikan lirih yang penuh penderitaan. Kompas kenangannya yang indah kini menunjuk ke arah sebuah anomali yang terasa begitu menyakitkan. Gema kebahagiaan itu menuntunnya menuju sumber dari semua kesedihan.

Perjalanannya berakhir di sebuah jalan yang lebih sepi di jantung kawasan Glodok. Di sini, gema melodi itu lenyap, menguap begitu saja, digantikan oleh keheningan yang berat. Di hadapannya, di antara dua bangunan ruko yang tampak normal, berdiri sebuah luka pada lanskap perkotaan. Sebuah monumen bagi tragedi, sebuah ruko tiga lantai yang hangus terbakar.

Bima berhenti, melayang beberapa meter di depannya. Ia tidak perlu bertanya apakah ini adalah tempat yang tepat. Seluruh esensinya bergetar, merespons energi pekat yang memancar dari bangunan itu. Fasadnya menghitam legam oleh jelaga, sebuah warna duka permanen yang tidak akan bisa terhapus oleh hujan atau waktu. Api pastilah sangat ganas, karena panasnya bahkan telah membuat cat di dinding ruko sebelahnya melepuh dan terkelupas, meninggalkan bekas luka simpatik. Jendela-jendela di lantai dua dan tiga hanya menyisakan lubang-lubang hitam yang kosong, seperti rongga mata pada sebuah tengkorak raksasa yang menatap kosong ke arah jalanan. Pintu harmonika besinya di lantai dasar telah direnggut paksa dari jalurnya, bengkok dan terpelintir seperti logam yang menjerit, menyisakan sebuah celah menganga yang gelap laksana mulut gua yang siap menelan apapun yang berani mendekat.

Saat Bima perlahan mendekat, ia dihantam oleh gelombang pertama. Bukan gelombang suara atau angin, melainkan gelombang emosi mentah yang begitu kuat hingga membuatnya mundur selangkah secara tak kasat mata. Itu adalah rasa takut yang begitu murni dan primitif, seperti teror seekor mangsa yang terpojok. Ia bisa merasakan gema dari jantung-jantung yang berdebar panik, napas yang tercekat di tenggorokan, dan mata yang melotot ngeri dalam kegelapan. Rasa takut itu begitu nyata, begitu menular, hingga Bima sendiri merasakan sisa-sisa dari insting untuk berbalik dan lari.

Ia memaksa dirinya maju, menembus lapisan pertama yang dingin itu. Lalu, gelombang kedua menghantamnya, kali ini panas dan membakar. Amarah yang brutal, liar, dan penuh dengan kekejian. Ini adalah energi dari para pelaku. Ia bisa mendengar gema dari tawa mereka yang kasar, teriakan mereka yang penuh nafsu dan kebencian. Amarah ini terasa kotor, lengket, dan meninggalkan sisa rasa pahit di dalam kesadarannya, seperti abu dari api yang tak suci.

Lihat selengkapnya