Setiap anak tangga yang ia naiki terasa seperti satu langkah lebih dalam ke perut seekor binatang buas. Udara di sekeliling Bima menjadi semakin dingin dan padat, seolah ia sedang berjalan di dasar lautan yang tak terlihat. Keheningan yang menyambutnya setelah isak tangis itu berhenti terasa lebih mengancam daripada jeritan manapun. Itu adalah keheningan yang waspada, keheningan seekor predator yang telah menyadari kehadiran mangsanya.
Ia tiba di puncak tangga, di ambang pintu menuju lantai dua. Di hadapannya hanya ada kegelapan yang pekat dan mutlak, sebuah tirai hitam yang seolah menelan semua cahaya. Ia bisa merasakan sebuah kehadiran di dalam sana, sebuah energi yang begitu kuat dan ganas hingga membuat esensinya sendiri bergetar. Rasanya seperti berdiri di depan sebuah kandang di mana seekor harimau lapar sedang mondar-mandir, menunggu saat yang tepat untuk menerkam. Keraguan sempat menjalari dirinya, sebuah bisikan purba yang menyuruhnya untuk berbalik dan lari. Namun, ingatan akan jawaban "Iya" yang penuh harap itu menjadi perisainya. Ia harus tahu.
Dengan tekad yang dipinjam dari masa lalunya yang bahagia, Bima melayang melewati ambang pintu, masuk ke dalam kegelapan itu.
Lantai dua adalah sebuah ruangan luas yang luluh lantak. Langit-langitnya telah runtuh di beberapa bagian, menciptakan lubang-lubang menganga yang memungkinkan pilar-pilar cahaya bulan pucat menembus masuk. Pilar-pilar cahaya itu berfungsi seperti lampu sorot di atas panggung kehancuran, menyoroti partikel-partikel debu dan abu yang menari lambat di udara yang tak bergerak. Perabotan yang tersisa hanyalah siluet-siluet hangus yang menyedihkan. Ada rangka besi dari apa yang mungkin pernah menjadi tempat tidur, sebuah lemari pakaian yang pintunya terlepas dan terbakar hingga menjadi arang, dan cermin rias yang kacanya pecah berkeping-keping, memantulkan serpihan-serpihan kegelapan.
Di tengah keheningan itu, ia mendengarnya lagi. Bukan isak tangis. Kali ini, sebuah geraman rendah yang parau, seperti suara binatang yang terluka parah dan terpojok. Suara itu datang dari sudut ruangan yang paling jauh, yang tidak tersentuh oleh cahaya bulan.
Bima bergerak perlahan mendekati sumber suara. Saat itulah, dari kegelapan pekat di sudut itu, sesuatu bergerak. Bukan gerakan yang jelas, lebih seperti kegelapan itu sendiri yang menggeliat, menetes, dan kemudian mulai menyatukan diri, naik dari lantai seperti asap hitam. Asap itu semakin padat, membentuk sebuah siluet seorang wanita.
Rambutnya adalah hal pertama yang Bima sadari. Sangat panjang, hitam legam, dan tampak hidup, ujung-ujungnya merayap dan berkerut di lantai seperti ular-ular kecil. Kemudian gaunnya terbentuk, sebuah gaun panjang yang warnanya semerah darah yang telah mengering, kainnya seolah ditenun dari penderitaan itu sendiri. Akhirnya, sosok itu mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah yang pucat pasi seperti porselen retak di bawah cahaya bulan. Wajah yang familier, Mei-Mei.
Namun, itu bukan Mei-Mei yang ia kenal. Wajah itu adalah sebuah topeng mengerikan yang dipahat oleh amarah. Bibirnya yang dulu selalu menyunggingkan senyum cerdas kini tertarik ke belakang dalam seringai buas yang memperlihatkan gigi. Dan matanya tidak lagi menahan percikan semangat keadilan. Mata itu kini adalah dua buah bara api neraka, menyala dengan cahaya merah yang tidak wajar, memancarkan kebencian murni yang tidak terarah. Tidak ada pengenalan di sana, tidak ada jiwa, hanya ada amarah tak bernama.
Sebelum Bima sempat memproses kengerian reuni yang tragis ini, entitas itu menjerit.