Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #6

Mengetuk Pintu Memori

Keheningan pasca-konfrontasi terasa berat dan tegang. Kuntilanak Merah itu tidak lagi menyerang. Ia melayang di sudut terjauh dari ruangan, sosoknya sebagian tertelan oleh bayangan, hanya mata merahnya yang menyala-nyala yang menjadi bukti keberadaannya. Amarahnya tidak lenyap, melainkan berubah menjadi kewaspadaan yang buas, seperti seekor serigala yang terluka dan tidak yakin apakah sosok di hadapannya adalah kawan atau lawan. Ia bingung. Proyeksi nama "Mei-Mei" yang dilontarkan Bima telah menjadi sebuah anomali yang tidak bisa diproses oleh otaknya yang terperangkap dalam trauma.

Bima berdiri di tengah ruangan, tidak berani mendekat, takut memicu amukan lainnya. Ia menyadari situasinya dengan jelas sekarang. Melawan amarah Mei-Mei dengan kekuatan adalah hal yang sia-sia; itu seperti mencoba memadamkan api dengan bensin. Membela diri hanya akan menciptakan jalan buntu. Satu-satunya jalan untuk maju bukanlah melalui konfrontasi, melainkan melalui koneksi. Ia harus menembus perisai trauma yang telah dibangun oleh pikiran Mei-Mei di sekeliling jiwanya.

Sebagai mantan mahasiswa Sastra, ia selalu percaya pada kekuatan emosi. Puisi, cerita, lagu, semua itu adalah kendaraan untuk menyampaikan perasaan yang tak terucapkan. Mungkin, pikirnya, prinsip yang sama berlaku di alam baka. Ia tidak bisa berbicara, tapi ia masih memiliki perasaannya. Ia masih memiliki kenangan akan cinta mereka, sebuah energi yang ia yakini lebih kuat dari kebencian manapun.

Ia akan mencoba. Ia akan mengetuk pintu memori yang terkunci itu, bukan dengan paksaan, melainkan dengan kelembutan.

Bima memejamkan matanya. Ia mengabaikan lingkungan ruko yang dingin dan menyedihkan. Ia menggali ke dalam inti esensinya, mencari sisa-sisa kehangatan terakhir yang ia miliki. Ia memikirkan semua momen indahnya bersama Mei-Mei, tawa mereka, perdebatan konyol mereka, keheningan nyaman di antara mereka. Ia mengumpulkan semua perasaan itu, kasih sayang, kerinduan, duka yang lembut dan membentuknya menjadi sebuah bola energi hangat di dalam kesadarannya. Lalu, dengan segenap niatnya, ia memproyeksikan bola perasaan itu ke arah Kuntilanak Merah di sudut ruangan. Bukan sebagai serangan, melainkan sebagai sebuah persembahan.

Reaksi yang ia terima bukanlah yang ia harapkan.

Bagi sebuah jiwa yang telah menyegel dirinya dalam benteng trauma, sebuah emosi kompleks seperti cinta dirasakan sebagai sebuah intrusi yang membakar. Saat energi hangat itu menyentuh aura merah Mei-Mei, gadis itu menjerit. Sebuah jeritan psikis yang penuh dengan rasa sakit dan kebingungan. Di dalam benak Bima, ia bisa merasakan apa yang Mei-Mei rasakan, kehangatan itu terasa seperti api yang menjalar, kerinduan itu terasa seperti cakar yang merobek, dan kasih sayang itu terasa seperti racun yang asing.

"PERGI!" Sebuah perintah telepatis yang begitu kuat dan penuh kebencian menghantam Bima.

Seluruh ruangan meledak seperti amukan roh ribut. Potongan-potongan kayu hangus terlempar ke udara. Kepingan kaca beterbangan seperti proyektil. Sebuah lemari besi tua yang berat terdorong beberapa inci di lantai dengan suara decitan yang memekakkan. Itu adalah tantrum dari sebuah jiwa yang tersiksa, menolak untuk disentuh, menolak untuk merasakan apapun selain amarah yang telah menjadi satu-satunya selimut keamanannya.

Bima terhempas ke dinding, esensinya bergetar hebat. Usahanya telah gagal total. Ia tidak hanya gagal menenangkannya, ia justru menyakitinya lebih dalam. Keputusasaan mulai merayapinya. Mungkin Mei-Mei memang sudah benar-benar hilang. Mungkin yang tersisa hanyalah monster ini. Mungkin usahanya sia-sia.

Saat ia nyaris menyerah, sebuah ingatan memberinya kekuatan, janji yang ia buat di kamar kos Mei-Mei. Aku akan melindungimu. Janji itu belum lunas. Ia harus mencoba lagi. Tapi kali ini, dengan cara yang berbeda.

Lihat selengkapnya