Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #7

Luka di Balik Tawa

Gema dari namanya yang dipanggil Mei-Mei adalah sebuah kemenangan yang menghangatkan inti keberadaan Bima yang dingin. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun dalam wujud pocongnya, secercah harapan yang tulus menyinari kegelapan batinnya. Ia berhasil. Ia telah menemukan kuncinya. Ia percaya bahwa jalan untuk menyembuhkan Mei-Mei adalah dengan terus membanjirinya dengan kenangan-kenangan indah mereka, untuk mengingatkannya pada cinta yang pernah mereka miliki, untuk menggantikan realitas horornya dengan realitas kebahagiaan mereka di masa lalu.

Ia menatap sosok Kuntilanak Merah di hadapannya. Amarah buas yang tadi mendominasi kini telah surut, digantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Mei-Mei tidak lagi melayang dengan angkuh. Ia sedikit membungkuk, seolah menanggung beban dari ingatan yang baru saja kembali. Mata merahnya yang menyala kini meredup menjadi bara yang berkedip-kedip, dan di baliknya, Bima bisa melihat sepasang mata manusia yang diliputi kebingungan dan duka yang tak terhingga. Ia adalah hantu yang kini dihantui oleh masa lalunya sendiri.

Melihatnya dalam kondisi serapuh ini, optimisme Bima yang naif mengambil alih. Ia berpikir bahwa ia harus segera membangun momentum ini. Jika satu kenangan emosional bisa menghasilkan kemajuan sebesar ini, maka kenangan yang penuh tawa dan kebahagiaan pasti bisa menyembuhkannya lebih cepat lagi. Ia ingin melihat kembali senyum jenaka itu, mendengar lagi tawanya yang renyah. Bima ingin membawa kembali Mei-Mei yang ia kenal, bukan hanya namanya.

Ia memutuskan tujuannya berikutnya. Bukan tempat yang sarat dengan drama, melainkan tempat yang menjadi panggung bagi komedi dan intelektualitas mereka sehari-hari. Tempat di mana kisah mereka benar-benar ditulis, di kantin sastra.

Bima memfokuskan pikirannya, memproyeksikan sebuah gambaran yang jelas ke dalam benak Mei-Mei. Sebuah meja kayu mereka yang biasa di bawah pohon flamboyan, dua gelas es teh, dan kepulan asap dari wajan Indomie.

Mei-Mei tersentak, menerima gambaran itu dengan getaran tak kasat mata. Bima bisa merasakan gelombang ketakutan dan penolakan yang samar darinya. Jiwanya yang terluka seolah ingin kembali meringkuk dalam kegelapan amnesia yang aman. Namun, ia terlalu lemah dan bingung untuk melawan kehendak Bima yang kini dipenuhi oleh harapan yang membara. Dengan sebuah tarikan lembut namun tegas, Bima membawa kesadaran mereka berdua, melintasi kota dalam sekejap, kembali ke tempat di mana semuanya terasa begitu ringan dan mungkin.

Realitas ruko yang hangus itu terkoyak, digantikan oleh cahaya matahari sore yang hangat dan riuh rendah ratusan suara yang familier.

Mereka kembali duduk di sana, di singgasana tak resmi mereka di kantin FIB. Bima kembali menjadi mahasiswa sastra dengan kemeja kotak-kotak dan rambut gondrongnya, merasakan beratnya buku Chairil Anwar di tangannya. Di seberangnya, Mei-Mei kembali menjadi mahasiswi psikologi yang cerdas dengan blus biru mudanya.

Namun, kali ini berbeda. Bima adalah seorang partisipan sadar dalam sebuah diorama kenangan. Sementara Mei-Mei adalah seorang pendatang asing di dalam masa lalunya sendiri. Matanya yang sipit bergerak liar, mengamati sekeliling dengan kepanikan yang tersembunyi. Ia melihat teman-temannya tertawa di meja lain, melihat ibu kantin yang galak namun baik hati sedang mengomel, dan semua itu terasa seperti adegan dari sebuah film yang pernah ia tonton tapi tak bisa ia ingat judulnya.

Bima di dalam memori itu tersenyum pada Mei-Mei, sebuah senyum yang Bima sang arwah kini amati dengan rasa rindu yang menyakitkan. "Enggak apa-apa, Mei. Aku juga baru sampai. Lagi menikmati sajak-sajak puitisnya si penyair pemberontak," katanya, menunjukkan buku di tangannya.

Lihat selengkapnya