Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #8

Bisikan Warna Kuning

Amukan Mei-Mei mereda seiring waktu, surut seperti badai yang telah kehabisan tenaga, meninggalkan kehancuran dan keheningan yang menyesakkan di belakangnya. Ia tidak lagi menyerang Bima. Sebaliknya, ia menarik diri, mundur ke sudut terjauh dari ruko yang gelap itu, menyelimuti dirinya dalam aura merah duka yang kini terasa lebih pekat oleh rasa sakit dari kenangan yang dipaksakan.

Jika sebelumnya ia adalah binatang buas yang marah, kini ia adalah makhluk terluka yang bersembunyi di liangnya, memandang Bima dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan ketakutan. Bima bukan lagi sosok yang membingungkan baginya, ia kini adalah sumber dari rasa sakit yang tak tertahankan.

Bima merasakan penyesalan yang begitu dalam hingga esensinya terasa berat. Ia telah bertindak bodoh. Dalam optimismenya yang buta, dalam kerinduannya yang egois untuk melihat kembali tawa Mei-Mei, ia telah melupakan siapa yang sedang ia hadapi. Ia tidak sedang mencoba menghibur seorang teman yang sedang sedih. Ia sedang berhadapan dengan sebuah jiwa yang telah hancur berkeping-keping oleh trauma yang tak terbayangkan. Memaksakan kenangan bahagia padanya sama seperti menyiram luka bakar dengan air mendidih. Ia telah menyakitinya, orang yang paling ingin ia lindungi di dunia.

Ia menyadari kesalahannya. Pendekatan seorang sastrawan yang romantis telah gagal. Kini, ia harus berpikir seperti Mei-Mei. Ia harus menjadi seorang psikolog. Sabar, metodis, dan penuh empati. Ia tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya. Ia harus menciptakan sebuah lingkungan yang aman, sebuah stimulus yang netral, dan membiarkan Mei-Mei mendekat dengan sendirinya, dengan kecepatannya sendiri. Tapi stimulus apa? Tempat-tempat kenangan mereka kini terasa seperti ladang ranjau emosional.

Pandangannya jatuh pada dirinya sendiri. Pada wujudnya yang terbungkus kain kafan, dan pada benda paling absurd yang menempel padanya. Jaket kuning itu. Jaket yang pernah menjadi simbol optimisme, lalu menjadi bahan lelucon, kemudian menjadi penghalang taktis. Mungkin, hanya mungkin, benda inilah kuncinya. Jaket ini bukanlah sebuah kenangan yang abstrak. Ia adalah sebuah objek. Sebuah artefak dari dunia mereka yang dulu, yang kini secara aneh ikut terbawa ke alam baka. Ia adalah sebuah jangkar.

Bima memutuskan strategi barunya. Ia tidak akan memproyeksikan kenangan atau perasaan apapun. Ia hanya akan menjadi sebuah pengingat. Ia berdiri diam di tengah ruangan, tidak bergerak, tidak berusaha mendekat. Ia memfokuskan seluruh kesadarannya pada jaket kuning itu, mencoba membuatnya terasa lebih "nyata" di dunia tak kasat mata mereka. Ia mengingat kembali tekstur kainnya, beratnya saat dikenakan, bahkan aroma khas toko saat ia pertama kali membelinya. Ia tidak mendorong ingatan ini pada Mei-Mei. Ia hanya membiarkannya terpancar dari dirinya secara pasif, seperti sebuah mercusuar sunyi yang memancarkan cahaya lembut di tengah lautan yang gelap. Ia menunggu.

Keheningan berlangsung lama. Bima bisa merasakan kewaspadaan dari sudut ruangan. Perlahan, setelah apa yang terasa seperti keabadian, ia merasakan pergerakan. Sosok Kuntilanak Merah itu perlahan-lahan melayang keluar dari bayang-bayang. Ia bergerak dengan sangat hati-hati, seperti seekor rusa yang mendekati sumber air di tempat terbuka. Matanya yang merah masih menyala, namun kini cahayanya lebih fokus, dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang berkonflik dengan rasa takutnya.

Ia tidak menatap wajah Bima. Matanya terpaku pada jaket kuning itu. Benda itu familier. Benda itu adalah satu-satunya hal yang konstan sejak pocong ini muncul di hadapannya. Amarahnya terpicu oleh emosi dan kenangan, tapi jaket ini hanyalah sebuah benda, sebuah warna, sebuah bisikan dari masa lalu yang tidak berteriak.

Perlahan tapi pasti, ia melayang mendekat. Lima meter, tiga meter, satu meter. Ia kini begitu dekat hingga Bima bisa merasakan getaran duka yang menguar darinya.

Saat ujung jari tak kasat matanya yang gemetar hampir menyentuh kain jaket kuning itu, kontak tersebut menjadi sebuah kunci. Kenangan itu tidak dipaksakan oleh Bima, melainkan ditarik oleh Mei-Mei sendiri, oleh rasa penasarannya pada artefak dari masa lalunya yang hilang. Dunia di sekitar mereka bergetar, namun kali ini transisinya lebih lembut, lebih tenang.

Lihat selengkapnya