Pertanyaan itu menggantung di udara yang beku di antara mereka, lebih berat daripada keheningan manapun.
"Kita ... kita sudah mati, kan?"
Setiap kata adalah sebuah palu godam yang menghancurkan sisa-sisa penyangkalan terakhir. Bagi Bima, yang telah hidup dengan kebenaran ini selama beberapa waktu, mendengar pertanyaan itu diucapkan oleh Mei-Mei membuatnya merasakan kembali seluruh gelombang horor dan duka dari saat pertama ia menyadarinya. Bagi Mei-Mei, itu adalah sebuah hipotesis mengerikan yang ia ajukan pada satu-satunya sumber data yang ia miliki, berharap dengan segenap jiwanya bahwa hipotesis itu salah.
Bima menatap sosok kekasihnya. Kuntilanak Merah itu tidak lagi tampak buas. Warna merah pada gaunnya kini seolah melambangkan duka yang berdarah, bukan lagi amarah yang membara. Cahaya di matanya telah sepenuhnya meredup, menyisakan sepasang mata sipit yang familier, yang kini menatapnya dengan kerapuhan seorang anak yang tersesat. Bagaimana ia bisa menjawab pertanyaan itu? Mengucapkan "iya" terasa seperti menusukkan pisau ke jantung yang sudah berhenti berdetak. Berbohong adalah hal yang mustahil. Di alam ini, niat dan kebenaran terasa transparan.
Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, Bima memfokuskan seluruh esensinya pada satu perasaan, sebuah kesedihan yang dalam namun penuh dengan penerimaan. Ia memproyeksikan perasaan itu, disertai dengan sebuah gambaran mental yang sederhana namun tak terbantahkan, sebuah anggukan kepala dari wujud pocongnya. Konfirmasi tanpa suara itu adalah sebuah vonis.
Mei-Mei tidak menjerit. Reaksinya jauh lebih buruk. Sosoknya seolah kehilangan semua kekuatan yang menopangnya. Ia merosot ke lantai yang kotor, tubuhnya yang tak lagi padat meringkuk seperti janin. Sebuah isak tangis yang sunyi dan menyayat hati mulai terpancar darinya, sebuah gelombang duka yang begitu murni hingga membuat udara di sekitar mereka terasa bergetar. Ini bukan lagi amukan trauma, ini adalah duka dari sebuah kesadaran. Duka seorang mahasiswi psikologi yang cemerlang, yang kini harus menerapkan semua teori tentang kehilangan dan kesedihan pada dirinya sendiri. Ia bukan lagi pengamat, ia adalah subjek dari tragedi terbesar.
Bima hanya bisa berdiri di sana, membiarkannya melewati gelombang pertama dari realisasi yang mengerikan itu. Ia ingin sekali mendekat, memeluknya, menenangkannya seperti yang sering ia lakukan dulu. Tapi ia tahu, sentuhan tak kasat matanya mungkin hanya akan menambah kengerian pada situasinya. Ia hanya bisa menemani dalam diam, menjadi saksi bisu dari patah hati kekasihnya yang melintasi batas kehidupan dan kematian.
Setelah waktu yang terasa seperti keabadian, isak tangis itu mereda, menyisakan keheningan yang rapuh. Perlahan, Mei-Mei mengangkat kepalanya.
"Bagaimana?" Sebuah pertanyaan pertama terkirim secara telepatis ke benak Bima. Suaranya jernih, namun sarat dengan getaran duka.
Bima mencoba meraih ingatannya sendiri, namun yang ia temukan hanyalah lubang-lubang hitam. "Aku ... aku enggak ingat semuanya, Mei," balasnya dengan jujur. "Hanya ... api ... teriakan ... rasa sakit. Lalu gelap. Saat aku sadar, aku sudah seperti ini."
"Aku juga," jawab Mei-Mei, suaranya terdengar begitu lelah. "Hanya ... rasa takut yang begitu besar. Rasa sakit lalu gelap. Aku bahkan ... enggak ingat namaku sendiri sampai kamu datang."