Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #10

Tawa yang Kembali Terdengar

Keheningan yang menyelimuti ruko hangus itu telah berubah. Bukan lagi keheningan yang sarat dengan amarah buta atau kewaspadaan yang buas, melainkan keheningan yang pekat oleh duka yang baru saja menemukan suaranya. Mereka adalah dua arwah tanpa tubuh pribadi mereka, terdampar di antara dunia orang hidup dan alam baka, dengan satu sama lain sebagai satu-satunya jangkar. Konfirmasi atas kematian mereka adalah sebuah vonis yang menyakitkan, namun di dalamnya juga terkandung sejenis kebebasan yang aneh, kebebasan dari ketidaktahuan.

Mei-Mei, dalam wujud Kuntilanak Merahnya, tidak lagi meringkuk di sudut. Ia melayang di tengah ruangan, sosoknya tegak, meski auranya masih bergetar oleh kesedihan. Bara merah di matanya telah menjadi tatapan yang fokus dan analitis. Jiwa seorang psikolog di dalam dirinya telah terbangun, dan kini ia dihadapkan pada studi kasus yang paling mengerikan, dirinya sendiri dan Bima.

"Kita enggak bisa hanya diam di sini, enggak bisa hanya meratap," sebuah pikiran jernih terproyeksi dari Mei-Mei ke benak Bima. Itu adalah kalimat pertama yang ia lontarkan yang tidak sarat dengan kebingungan atau duka, melainkan dengan tujuan. "Ada lubang besar dalam ingatan kita. Di antara kenangan terakhir kita yang utuh dan saat kita terbangun seperti ini. Lubang itu ... di sanalah semua jawabannya."

Bima setuju. Ia bisa merasakan perubahan dalam diri Mei-Mei. Gadis yang tadinya harus ia tuntun keluar dari badai trauma, kini perlahan mengambil kemudi. "Tapi bagaimana cara kita mengingatnya?" balas Bima. "Setiap kali kita menyentuh kenangan itu, rasanya menyakitkan."

"Kita enggak bisa langsung lari ke akhir cerita," jelas Mei-Mei, logikanya setajam pisau bedah. "Mencoba mengingat langsung tragedi itu hanya akan menghancurkan kita berdua. Kita harus mulai dari awal. Membangun kembali ingatan kita secara kronologis, kepingan demi kepingan. Seperti menyusun puzzle. Mungkin ... mungkin ada petunjuk yang kita lewatkan di hari-hari sebelumnya. Sesuatu yang ganjil. Seseorang yang baru."

Bima, sang mahasiswa Sastra, memahami konsep itu dengan caranya sendiri. "Membaca kembali bab-bab awal dari kisah kita," pikirnya. Sebuah ide yang puitis sekaligus metodis. Sebuah perpaduan sempurna antara cara berpikir mereka.

Mereka sepakat. Untuk bisa memahami akhir dari cerita mereka, mereka harus kembali ke awalnya. Mereka harus belajar untuk mengendalikan kemampuan baru mereka untuk masuk ke dalam lanskap memori, bukan sebagai korban yang terseret, melainkan sebagai peneliti yang aktif. Mereka butuh sebuah kenangan yang kuat, yang membahagiakan, untuk dijadikan sebagai titik awal latihan mereka.

"Kencan pertama kita," Bima memproyeksikan sebuah gambaran. "... setelah pengakuan di kantin. Ingat?"

Bima merasakan gelombang persetujuan yang hangat dari Mei-Mei. Kali ini, transisinya berbeda. Bukan sebuah tarikan paksa atau sebuah pemicu yang tak disengaja. Mereka saling mendekat, dua esensi yang saling mengorbit. Mereka mengulurkan tangan tak kasat mata mereka, menyatukan kesadaran. Bersama-sama, mereka memfokuskan niat mereka pada satu kenangan itu, dan dengan sebuah kehendak bersama, dunia ruko yang dingin dan gelap itu pun larut di sekitar mereka.

Aroma popcorn yang manis dan gurih adalah hal pertama yang menyambut mereka. Diikuti oleh suara riuh rendah orang-orang yang mengobrol dan gemuruh sound system dari dalam sebuah studio. Mereka kembali ke tubuh manusia mereka, berdiri di lobi sebuah bioskop di salah satu pusat perbelanjaan besar di Jakarta. Lampu-lampu neon dari poster-poster film yang akan datang memantulkan cahaya warna-warni di lantai marmer.

Ini adalah kencan resmi pertama mereka. Suasananya sedikit canggung, namun dipenuhi oleh kegembiraan yang meluap-luap. Bima ingat betul perasaan itu, sebuah campuran antara rasa bangga bisa berjalan di samping Mei-Mei dan rasa gugup yang konyol.

Lihat selengkapnya