Kehangatan dari kenangan di bioskop memudar dengan cepat, meninggalkan mereka kembali dalam realitas ruko yang dingin dan sunyi. Namun, sesuatu telah berubah. Keheningan itu tidak lagi terasa begitu menekan. Dulu, mereka adalah dua titik kesepian yang terpisah. Kini, mereka adalah dua kesadaran yang berbagi keheningan yang sama, dan di dalamnya, ada sebuah pemahaman dan tekad bersama.
"Jadi, kita mulai," pikiran Mei-Mei terproyeksi, bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai sebuah pernyataan. Kualitas suaranya telah banyak berubah. Kerapuhan di bab-bab sebelumnya kini telah diasah menjadi setajam ujung pisau bedah. Duka itu masih ada, namun kini ia menjadi bahan bakar, bukan lagi lautan yang menenggelamkan.
Bima merasakan gelombang persetujuan. "Kita mulai," balasnya. "Tapi ... dari mana? Ingatan terakhirku begitu kacau. Hanya api dan rasa sakit."
"Pikiranku juga sama," jawab Mei-Mei. "Seperti menonton film yang rolnya terbakar di adegan paling penting. Kita enggak bisa memaksa untuk menonton adegan yang sudah hangus itu. Itu hanya akan menghancurkan proyektornya." Metafora yang ia gunakan terasa begitu klinis dan tepat, khas seorang psikolog yang sedang menganalisis sebuah mekanisme. "Kita jangan cari momen kematiannya, Bim-Bim. Itu tujuan akhir. Kita harus mulai dari awal hari itu. Kita bangun kembali kronologinya, jam demi jam. Mungkin ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang enggak seharusnya ada di sana. Sebuah anomali."
Bima mengerti. Ini adalah pendekatan Mei-Mei yang ia kenal, metodis, logis, dan hati-hati. Bukan terjun langsung ke dalam kobaran api, melainkan mempelajari bagaimana api itu bermula. "Membaca kembali bab-bab awal dari hari terakhir kita," Bima membingkainya dalam bahasanya sendiri.
"Tepat," konfirmasi Mei-Mei. "Fokuskan pikiranmu. Bukan pada akhirnya. Tapi pada awalnya. Pagi hari itu. Saat matahari terbit. Apa yang kita lakukan? Di mana kita?"
Mereka saling mendekat, dua sosok tak kasat mata di tengah kehancuran. Bima bisa merasakan konsentrasi dari Mei-Mei, sebuah energi mental yang begitu terfokus. Ia melakukan hal yang sama. Ia mendorong semua bayangan tentang api dan teriakan ke sudut terjauh benaknya. Ia mencoba mengingat matahari, kehangatan, dan rutinitas biasa dari sebuah hari yang ternyata sama sekali tidak biasa. Bersama-sama, mereka menarik sebuah kenangan, bukan dengan paksaan, tapi dengan presisi seorang arkeolog yang sedang menggali artefak yang rapuh.
Dunia di sekitar mereka bergetar, dan kegelapan ruko digantikan oleh cahaya pagi yang pucat dan sarat dengan ketegangan.
Langit Jakarta pagi itu berwarna aneh. Cerah, namun pucat, seolah matahari sendiri enggan untuk bersinar dengan kekuatan penuh. Udara terasa berat dan lengket, bukan hanya karena kelembapan tropis, tapi juga karena ketegangan yang merayap masuk ke setiap sudut kota. Di kampus, suasananya bahkan lebih ganjil.
Biasanya, jam delapan pagi adalah jam puncak keramaian. Mahasiswa akan berlarian mengejar kelas, tawa akan terdengar dari kantin, dan koridor akan dipenuhi oleh obrolan. Tapi pagi ini berbeda. Kampus terasa lengang. Hanya ada beberapa kelompok kecil mahasiswa yang berdiri bergerombol di pelataran, wajah mereka cemas, telinga mereka menempel pada radio portabel kecil yang menyiarkan berita dengan suara berderak.
Bima menemukan Mei-Mei di dekat mading fakultas mereka. Gadis itu tidak sedang membaca pengumuman, melainkan sedang berbicara di telepon umum dengan ekspresi yang sangat khawatir. Saat melihat Bima, ia memberikan isyarat untuk menunggu.