Sebuah nama, sebuah wajah. Untuk pertama kalinya sejak kebangkitan mereka, duka dan kebingungan mereka yang tak berbentuk kini memiliki sebuah target yang konkret. "Si Jangkung". Nama panggilan yang mereka berikan sendiri itu menjadi sebuah mantera, sebuah fokus untuk semua amarah dan rasa sakit mereka. Investigasi telah selesai, kini saatnya perburuan.
Tapi, di mana memulai perburuan di sebuah kota sebesar Jakarta yang tak pernah tidur?
"Dia seorang preman," pikiran Mei-Mei terproyeksi, tajam dan dingin. "Mereka punya ekosistemnya sendiri. Tempat mereka berkumpul, tempat mereka merasa aman. Kita cari di sana."
Bima merasakan kebenaran dalam logika Mei-Mei. Ingatannya tentang wajah-wajah para pelaku, wajah-wajah kasar yang ditempa oleh kerasnya jalanan, menuntunnya pada satu nama kawasan yang selalu disebut dengan nada berbisik, Tanah Abang. Sebuah pusat perdagangan yang riuh di siang hari, yang berubah menjadi kerajaan bayangan yang dikuasai oleh premanisme saat malam tiba.
Perjalanan mereka ke sana terasa berbeda. Tidak ada lagi keraguan atau pencarian jejak kenangan. Kali ini, gerakan mereka cepat, lurus, dan penuh tujuan. Mereka melesat menembus gedung-gedung dan lalu lintas malam, dua arwah yang disatukan oleh sebuah misi kelam. Saat mereka tiba, Bima bisa langsung merasakan energi tempat itu. Udara di Tanah Abang terasa berat dan keruh, bukan hanya oleh polusi, tapi oleh aura keserakahan, kekerasan, dan keputusasaan yang telah meresap selama bertahun-tahun. Ini adalah hutan beton, dan mereka adalah dua predator yang baru saja memasuki wilayahnya.
Mereka memulai pencarian. Metode mereka adalah perpaduan unik dari dua dunia. Mei-Mei, sebagai Kuntilanak Merah, menggunakan amarahnya seperti sebuah radar. Ia bisa merasakan aroma kekejian, melacak individu-individu yang energi batinnya paling cocok dengan getaran para pelaku yang ia ingat. Ia menyapu kawasan itu seperti elang, melayang tinggi di atas pasar yang mulai sepi, matanya yang merah memindai kerumunan di bawah.
Bima, di sisi lain, lebih membumi. Ia bergerak di antara keramaian, melewati warung-warung kopi yang masih buka, pos-pos ojek, dan gang-gang sempit tempat para pemuda berkumpul. Ia adalah sang pengamat, mencocokkan setiap wajah yang ia lihat dengan gambaran yang terpatri di ingatannya.
Setelah hampir satu jam menyisir lautan wajah yang keras dan lelah, Bima menemukannya. Di sebuah warung kopi sederhana yang hanya diterangi oleh satu lampu bohlam kuning, duduklah target mereka, Si Jangkung. Di dunia orang hidup, ia tampak begitu biasa, begitu normal. Ia mengenakan kaus oblong yang sudah lusuh dan celana jins, sedang tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon temannya sambil menyeruput kopi hitam dari gelas beling. Melihatnya begitu santai, begitu tanpa beban, setelah apa yang telah ia perbuat, membuat sesuatu yang dingin dan keras terbentuk di dalam inti jiwa Bima.
Ia mengirimkan sinyal pada Mei-Mei. Dalam sekejap, ia merasakan kehadiran gadis itu di dekatnya, sebuah bayangan yang lebih gelap di tengah kegelapan, memancarkan aura dingin yang membuat para pengunjung warung lainnya tanpa sadar menggosok-gosok lengan mereka.
Mereka tidak langsung bertindak. Mereka mundur ke atap sebuah ruko di seberang jalan, menjadi penonton dari drama kehidupan kecil pembunuh mereka. Dari sana, mereka mengamati Si Jangkung menghabiskan kopinya, merokok beberapa batang, dan terus tertawa seolah ia tidak memiliki dosa apapun di dunia.
"Aku ingin merobeknya sekarang juga," pikiran Mei-Mei menghantam Bima, penuh dengan kekejaman yang tak terselubung. Ia memproyeksikan gambaran Si Jangkung yang menjerit saat dicabik-cabik oleh bayangan.
Bima merasakan gelombang keraguan untuk pertama kalinya sejak mereka memulai misi ini. Melihat targetnya sebagai manusia biasa membuat segalanya terasa berbeda. Membunuhnya terasa ... terlalu mudah dan terlalu cepat. Kematian adalah sebuah akhir. Sedangkan penderitaan yang telah mereka alami terasa tak ada akhirnya. Apakah kematian instan adalah sebuah keadilan yang setimpal? Keraguan ini, perdebatan batin tentang hakikat keadilan, terasa begitu familier.
Langit senja di danau kampus berwarna jingga keunguan, memantulkan warnanya yang indah di permukaan air yang tenang. Bima dan Mei-Mei sedang duduk di tepi danau, melemparkan kerikil-kerikil kecil ke air, sebuah ritual yang sering mereka lakukan untuk melepas penat setelah seharian berkuliah.