Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #14

Pengakuan di Ujung Kewarasan

Malam tidak lagi membawa istirahat bagi Si Jangkung, ia membawa siksaan. Setelah kengerian dari jimatnya yang gagal total, benteng pertahanan terakhir di dalam benaknya telah runtuh. Ia tidak lagi mencoba untuk tidur. Ia hanya duduk di sudut kamarnya yang sempit dan remang-remang, memeluk lututnya, dengan semua lampu yang ia miliki menyala terang. Matanya yang merah dan bengkak karena kurang tidur bergerak liar, mengamati setiap bayangan, tersentak pada setiap suara derit kayu atau lolongan anjing di kejauhan. Kewarasannya telah menipis hingga setipis benang laba-laba.

Dari sudut lain ruangan, tersembunyi dalam ketiadaan yang hanya bisa diakses oleh arwah, Bima dan Mei-Mei mengamatinya. Mereka adalah penonton sabar di barisan terdepan dari sebuah pertunjukan kehancuran mental yang mereka sutradarai sendiri. Aura Mei-Mei memancarkan kepuasan yang dingin dan tajam. Ia menikmati setiap getaran ketakutan yang terpancar dari mangsanya, seperti seorang ahli anggur yang sedang mencicipi minuman langka. Ini bukanlah kegembiraan yang sadis, melainkan sebuah validasi yang kelam atas penderitaannya. Ketakutan lelaki ini adalah gema dari ketakutan yang pernah ia rasakan, dan mendengarnya membuatnya merasa, untuk pertama kalinya, tidak sendirian dalam nerakanya.

Bima, di sisi lain, merasakan sesuatu yang lebih kompleks. Ada rasa puas yang keras, suram, dan menakutkan, sebuah pengakuan bahwa tujuan mereka tercapai. Namun, jauh di lubuk esensinya, ada sebuah perasaan tidak nyaman yang mengganggu. Melihat seorang manusia, sekeji apapun dia, direduksi menjadi makhluk yang gemetar dan ketakutan seperti ini, menyentuh sisa-sisa dari idealismenya yang dulu. Apakah ini keadilan? Atau ini hanyalah penyiksaan? Ia buru-buru menekan perasaan itu. Lelaki ini tidak pantas mendapatkan belas kasihannya. Lelaki ini telah tertawa saat merenggut dunianya.

"Sudah waktunya," pikiran Mei-Mei terproyeksi, memecah keheningan di antara mereka. "Dia sudah matang. Siap untuk dipetik."

Bima mengangguk, tidak ada lagi keraguan. Hal ini harus diselesaikan. Mereka tidak lagi bermain-main dengan bisikan atau kilatan. Pertunjukan final akan segera dimulai.

Mei-Mei bergerak lebih dulu. Ia tidak muncul begitu saja. Ia membiarkan kegelapan di sudut terjauh kamar Si Jangkung menjadi lebih pekat, lebih dalam, seolah sebuah lubang hitam kecil terbuka di sana. Dari lubang hitam itu, rambutnya yang panjang dan legam merayap keluar lebih dulu, seperti sulur-sulur tanaman malam yang menjalar di dinding. Kemudian, perlahan, sosoknya yang terbalut gaun merah darah mengalir keluar dari kegelapan itu, memadat menjadi wujud yang solid di tengah ruangan. Matanya yang merah menyala menatap Si Jangkung, bukan dengan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan kecerdasan dingin seorang predator yang telah berhasil menyudutkan mangsanya.

Si Jangkung melihatnya. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba menjerit, tapi yang keluar hanyalah rintihan parau. Kemudian, untuk menambah terornya, Bima menampakkan diri. Ia tidak muncul di dalam ruangan. Ia memadat di luar jendela, berdiri di udara kosong, menatap masuk dengan wajahnya yang pucat dan penuh duka. Sosoknya yang terbungkus kain kafan dan jaket kuning yang absurd menjadi sebuah pemandangan neraka yang sangat menakutkan, sebuah ikon dari dosa yang tak termaafkan.

Si Jangkung kini terjebak di antara dua kengerian. Kuntilanak Merah yang penuh kebencian di hadapannya, dan Pocong Kuning yang penuh kesedihan di jendelanya. Ia benar-benar lumpuh oleh teror.

"Kau ingat aku?" Suara Mei-Mei terdengar langsung di dalam kepalanya, jernih dan dingin.

Bersamaan dengan pertanyaan itu, ia memproyeksikan sebuah gambaran ke dalam benak Si Jangkung, wajah Mei-Mei saat ia masih hidup, tersenyum, persis seperti di hari terakhir itu. Gambaran keindahan yang polos itu, jika dibandingkan dengan monster di hadapannya, justru terasa lebih mengerikan.

Si Jangkung mulai terisak, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik. "Ampun ... ampun ..."

Lihat selengkapnya