Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #15

Nasi Goreng yang Sama

Keheningan setelah jeritan terakhir Si Jangkung terasa lebih berat dan lebih pekat daripada keheningan manapun sebelumnya. Tidak ada perasaan kemenangan yang megah, tidak ada sorak sorai keadilan di dalam benak Bima. Yang ada hanyalah sebuah kehampaan yang dingin. Satu nama telah dicoret dari daftar tak terlihat mereka, namun lubang di dalam jiwa Bima tidak terisi, bahkan sebaliknya, kini ia terasa lebih luas, lebih bergema.

Mereka meninggalkan kamar sewa yang kini menjadi makam itu, melayang menembus dinding dan kembali ke langit malam Jakarta yang acuh tak acuh. Mereka bergerak dalam diam, dua satelit duka yang mengorbit satu sama lain.

"Apakah kamu merasa lebih baik?" Bima akhirnya memproyeksikan pertanyaan itu ke arah Mei-Mei, pertanyaan yang lebih ia tujukan pada dirinya sendiri.

Ia merasakan respons dari Mei-Mei, bukan kata-kata, melainkan sebuah gelombang emosi yang dingin dan datar. Aura merah di sekelilingnya yang tadi sempat meredup saat mereka menghidupkan ulang kenangan, kini kembali menjadi warna merah tua yang solid, warna darah yang telah mengering. "Satu selesai," katanya, tanpa nada kemenangan, hanya sebuah fakta yang menakutkan. "Masih ada yang lain."

Bima mengerti. Ini bukanlah sebuah perjalanan menuju kedamaian. Ini adalah sebuah pekerjaan, sebuah tugas kelam yang harus mereka selesaikan, satu per satu. Fokus mereka kini beralih ke nama berikutnya yang telah mereka dapatkan dari mulut Si Jangkung, orang yang bernama Si Kumis.

Perburuan kali ini terasa berbeda. Si Jangkung adalah preman rendahan, seekor ikan teri di lautan kejahatan yang luas. Si Kumis, dari pengakuan Si Jangkung, adalah letnannya. Ia lebih senior, lebih berhati-hati, dan kemungkinan besar, lebih kejam. Mereka tidak tahu di mana ia tinggal atau di mana ia biasa berkumpul. Mereka hanya memiliki sebuah nama dan ingatan samar akan wajahnya.

Pencarian mereka pun dimulai. Ini adalah sebuah proses yang melelahkan dan aneh. Mereka harus menyapu seluruh kota, menyisir distrik-distrik yang paling kelam dan berbahaya. Mei-Mei, dengan amarahnya yang kini lebih terfokus, bertindak seperti sebuah kompas gaib. Ia bisa merasakan getaran kekejian yang cocok dengan energi para pelaku, menuntun mereka ke area-area di mana manusia-manusia sejenis mereka biasa berkumpul. Sementara Bima, dengan ingatan fotografisnya yang tersiksa, bertugas sebagai pemindai wajah, mengamati setiap kerumunan dengan detail yang menyakitkan.

Mereka melayang melewati terminal bus yang tak pernah tidur, di mana para calo dan pencopet mencari mangsa. Mereka menyusuri lorong-lorong gelap di belakang pasar-pasar induk, di mana para kuli dan preman berjudi di bawah cahaya lampu teplok. Mereka mengamati dari atap-atap kelab malam remang-remang di kawasan kota, tempat uang dan dosa berpindah tangan dengan mudahnya. Waktu bagi mereka adalah konsep yang cair. Siang dan malam melebur menjadi satu siklus pencarian yang tak berujung.

Suatu malam, saat mereka sedang menyisir sebuah kawasan padat di Jakarta Timur, mereka melewati sebuah pemandangan yang begitu biasa hingga nyaris tak tercatat. Sebuah gerobak nasi goreng tek-tek yang mangkal di tikungan jalan. Bima memperhatikannya sejenak. Gerobak itu sudah tua, dengan beberapa penyok di badannya dan sebuah lukisan ayam jago yang warnanya sudah pudar. Sang penjual, seorang bapak tua kurus dengan peci di kepala, tampak begitu ahli, tangannya bergerak dengan ritme yang konstan, memukulkan sudip ke wajan dengan bunyi tek-tek-tek yang khas. Asap gurih mengepul ke udara malam. Pemandangan itu begitu normal, sebuah potongan kecil dari kehidupan malam Jakarta yang otentik. Mereka melayang melewatinya dan melanjutkan pencarian.

Pencarian mereka berlanjut tanpa hasil. Mereka menyapu area lain, bergerak berkilo-kilometer jauhnya ke arah Jakarta Pusat. Frustrasi mulai menjalari Bima. Si Kumis seolah lenyap ditelan bumi.

Lihat selengkapnya