Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #16

Aura Ketakutan di Rumah Susun

Keheningan yang mengikuti pembalasan dendam mereka terhadap Si Jangkung tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, ia meninggalkan Bima dengan perasaan yang lebih gelisah dari sebelumnya. Kenangan akan penjual nasi goreng yang sama di dua tempat yang berbeda terus berputar di benaknya seperti sebuah kaset rusak. Itu adalah sebuah nada sumbang dalam orkestra realitas mereka yang sudah mengerikan, sebuah detail yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Ia melirik ke arah Mei-Mei yang melayang di sampingnya. Aura merah di sekeliling gadis itu tampak lebih tenang, lebih terfokus. Kemenangan pertama mereka seolah telah memberinya sebuah validasi, mengasah amarahnya dari pisau yang bergerigi menjadi sebuah belati yang tajam dan mematikan. Bima ragu untuk kembali mengangkat topik tentang keanehan yang ia lihat. Penolakan Mei-Mei yang begitu cepat dan tajam terakhir kali membuatnya sadar bahwa kekasihnya itu kini hanya memiliki satu tujuan. Apapun yang tidak berhubungan dengan balas dendam akan dianggap sebagai gangguan, sebagai hal sepele.

Untuk saat ini, Bima memutuskan untuk menyimpan keraguannya sendiri. Ia menjadi seorang pengamat yang lebih waspada, tidak hanya mencari target mereka berikutnya, tapi juga mencari retakan-retakan lain di dunia tempat mereka terperangkap.

Pencarian mereka untuk "Si Kumis" terbukti jauh lebih sulit. Ia sebagai preman yang lebih senior, lebih licik dan tidak menonjolkan diri seperti Si Jangkung. Namanya tidak disebut-sebut di warung kopi atau pos-pos ojek. Ia seperti seekor tikus yang bersembunyi di dalam liangnya yang gelap.

Selama berhari-hari, mereka menyisir kembali lorong-lorong kelam Jakarta. Bima membiarkan Mei-Mei yang memimpin. Gadis itu kini telah menguasai kemampuannya untuk melacak "aroma" kekejian. Ia melayang di atas kota seperti seekor elang, memindai lautan energi manusia di bawah, mencari getaran spesifik yang cocok dengan ingatan traumatisnya. Bima, yang mengikuti di belakangnya, menggunakan kesempatan ini untuk mengamati dunianya dengan lebih saksama. Ia mulai memperhatikan pola-pola aneh, grafiti yang sama di dinding di kawasan yang berbeda, seekor kucing belang tiga yang tampak identik sedang tidur di tiga gang yang terpisah berkilo-kilometer. Setiap kali ia melihatnya, sebuah rasa dingin yang ganjil menjalari esensinya.

Akhirnya, setelah pencarian yang panjang, radar gaib Mei-Mei menemukan sebuah sinyal yang kuat. Bukan sinyal kekejian yang aktif, melainkan sinyal ketakutan yang dipendam. Sebuah aura paranoia yang begitu pekat, memancar seperti mercusuar di tengah lautan emosi kota.

Jejak itu menuntun mereka ke sebuah kompleks rumah susun sederhana di pinggiran Jakarta. Bangunan itu adalah sebuah monster beton yang tampak lelah, catnya yang berwarna krem telah mengelupas di sana-sini, memperlihatkan plesteran abu-abu di baliknya. Jendela-jendela dari ratusan unit apartemen kecil menatap keluar seperti mata-mata yang tak terhitung jumlahnya. Jemuran pakaian yang berwarna-warni tergantung di setiap balkon, tampak seperti bendera-bendera dari sebuah negara yang telah menyerah pada nasib. Dari luar saja, Bima bisa merasakan energi yang padat dari tempat ini, sebuah konsentrasi dari mimpi yang patah, kerja keras yang tak sepadan, dan harapan-harapan kecil yang berjuang untuk tetap hidup.

Aura ketakutan itu memancar dari salah satu unit di lantai tujuh. Mereka menembus dinding luar bangunan, melayang melewati koridor-koridor yang sempit dan remang-remang, hingga tiba di depan pintu bernomor 713. Dari sini, perasaan paranoid itu begitu kuat hingga nyaris mencekik.

Mereka masuk menembus pintu. Pemandangan di dalam membuat mereka berhenti sejenak. Unit itu adalah sebuah ruangan sempit yang penuh sesak dan berantakan. Pakaian kotor menumpuk di kursi, piring-piring kotor tergeletak di meja kecil, dan asbak rokok meluap isinya. Namun, di tengah kekacauan itu, ada tanda-tanda dari sebuah usaha menyedihkan untuk mencari perlindungan. Di atas kusen pintu dan jendela, tergambar simbol-simbol aneh menggunakan kapur putih. Di sudut ruangan, ada sebuah altar kecil seadanya, berisi gelas kopi, beberapa batang rokok, dan kembang tujuh rupa yang mulai layu.

Lihat selengkapnya