Rumah susun itu kini telah menjadi papan catur bagi Bima dan Mei-Mei. Setiap koridor yang sempit, setiap tangga yang gelap, setiap pintu yang tertutup adalah bagian dari medan perang. Dan di unit 713, seorang raja yang paranoid dan gemetar duduk di atas takhtanya yang terbuat dari kasur tipis, tidak menyadari bahwa bentengnya sedang digerogoti dari dalam oleh dua hantu yang telah memutuskan untuk menjadi grandmaster.
Strategi mereka kali ini berbeda. Tidak ada lagi teror kejutan yang meledak-ledak seperti yang mereka lakukan pada Si Jangkung. Si Kumis adalah target yang berbeda. Ia sudah mengantisipasi serangan. Ia telah membangun sebuah benteng pertahanan, meskipun benteng itu terbuat dari takhayul yang rapuh dan paranoia yang goyah. Menyerangnya secara langsung hanya akan membuatnya semakin bersembunyi. Mei-Mei, dengan logikanya yang dingin, memutuskan bahwa cara untuk meruntuhkan sebuah benteng bukanlah dengan menghantam gerbangnya, melainkan dengan meracuni sumur di dalamnya dan membuat penghuninya gila.
Permainan mereka dimulai dengan sentuhan-sentuhan kecil yang meresap ke dalam kewarasan Si Kumis seperti air yang menetes di atas batu.
Pada malam pertama, saat Si Kumis tertidur dengan gelisah sambil memeluk kantong jimat dari Mbah Gareng, Bima dan Mei-Mei bekerja sama. Dengan sebuah fokus telekinetik yang lembut, Mei-Mei mengangkat simbol aneh yang digambar Si Kumis dengan kapur di atas pintu. Simbol itu terangkat dari dinding tanpa meninggalkan bekas, melayang di udara, lalu dengan perlahan ia gambar kembali di lantai, tepat di depan pintu, namun dengan posisi sedikit miring. Sementara itu, Bima mengambil salah satu kembang sesajen dari altar kecil di sudut ruangan, dan memindahkannya ke atas televisi yang mati.
Keesokan paginya, saat Si Kumis terbangun dengan mata merah, hal pertama yang ia lihat adalah simbolnya yang telah berpindah. Ia terlonjak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia memeriksa simbol itu dari dekat. Tidak ada bekas dihapus. Seolah kapur itu memang digambar di lantai sejak awal. Lalu ia melihat bunga sesajen di atas televisinya. Kepanikan mulai menjalari dirinya. Ini bukan serangan. Ini adalah pesan.
Pesan yang mengatakan: “Pagar gaibmu adalah mainan bagi kami. Kami bisa masuk dan keluar sesuka hati kami. Kami bisa mengubah duniamu tanpa kau sadari.”
Hari-hari berikutnya, permainan manipulasi psikologis itu semakin intensif. Mei-Mei tidak lagi membisikkan nama, ia kini membisikkan mantra-mantra omong kosong yang pernah diucapkan oleh Mbah Gareng, namun dengan nada yang mengejek dan terdistorsi, seolah sang dukun sendiri sedang menertawakannya dari alam gaib. Bima, di sisi lain, menyempurnakan kemampuan ilusinya. Ia tidak lagi hanya menampakkan diri. Ia membuat simbol-simbol kapur di dinding seolah-olah "menangis", mengeluarkan lelehan seperti darah hitam. Ia memproyeksikan bayangan Si Jangkung yang sekilas sedang meringis kesakitan di layar televisi yang statis.
Mereka juga belajar untuk memanipulasi suhu. Mereka menciptakan titik-titik dingin di dalam ruangan yang terus bergerak, mengikuti Si Kumis ke manapun ia pergi. Saat ia duduk di kursi, tempat duduknya itu menjadi sedingin es. Saat ia mencoba makan, piring di tangannya terasa membeku.
Si Kumis kini hidup di dalam neraka pribadinya. Rumah yang seharusnya menjadi benteng pertahanannya kini telah menjadi sel isolasi penyiksaannya. Setiap sudut adalah sumber teror, setiap suara adalah ancaman. Ia mulai berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak gila.
Bima mengamati semua ini dengan perasaan yang campur aduk. Ada kepuasan yang menyeramkan melihat lelaki yang ikut menghancurkan hidupnya kini menderita. Namun, ada juga rasa ngeri pada apa yang telah mereka berdua perbuat. Mereka tidak hanya menghukum, tapi juga menikmati prosesnya. Terutama Mei-Mei. Ia menjadi seorang sutradara teror yang begitu brilian, begitu metodis. Setiap langkahnya diperhitungkan untuk menimbulkan dampak psikologis yang maksimal.
Melihat Mei-Mei yang begitu fokus merancang "permainan" kejam ini, Bima terlempar ke dalam kenangan akan sebuah permainan lain, di waktu yang lain, di mana strategi dan kecerdasan Mei-Mei adalah sumber kegembiraan, bukan kengerian.