Malam terakhir bagi Si Kumis adalah malam terpanjang dalam hidupnya. Ia tidak lagi mencoba untuk tidur. Harapan akan datangnya pagi telah lenyap, karena ia tahu hantu tidak peduli pada matahari. Ia hanya duduk meringkuk di lantai yang dingin di sudut kamarnya, memeluk lututnya, matanya yang bengkak dan merah menatap liar ke arah pintu. Setiap derit dari bangunan tua itu, setiap suara batuk dari unit sebelah, setiap desing nyamuk di telinganya, terdengar seperti sebuah pertanda. Ia adalah seorang terpidana mati yang menunggu kedatangan algojonya.
Di dalam bayang-bayang kamarnya sendiri, Bima dan Mei-Mei mengamati. Mereka adalah keheningan yang menunggu. Aura Mei-Mei terasa dingin dan tenang, seperti danau beku di puncak gunung. Amarahnya tidak lagi bergejolak, ia telah mengeras menjadi es, menjadi sebuah instrumen keadilan yang tajam dan tanpa emosi. Bima, di sisinya, merasakan beratnya momen itu. Tidak ada lagi keraguan atau konflik batin. Yang ada hanyalah sebuah kesedihan yang mendalam dan rasa akan keniscayaan yang kelam. Pertunjukan ini harus berakhir.
Saat jam di dinding berhenti berdetak, Si Kumis tahu waktunya telah tiba. Ia mulai terisak pelan.
Lampu bohlam satu-satunya di langit-langit kamarnya mulai berkedip-kedip dengan ritme yang tidak menentu, seperti detak jantung yang panik. Lalu, dengan sebuah letupan kecil, lampu itu padam, menenggelamkan ruangan dalam kegelapan total yang hanya sedikit ditembus oleh cahaya oranye pucat dari kota di luar jendela.
Dari dalam kegelapan itu, sebuah suara mulai terdengar. Bukan bisikan, bukan jeritan. Melainkan suara seorang wanita yang sedang menangis tersedu-sedu. Suara itu seolah datang dari semua arah sekaligus dari bawah tempat tidur, dari dalam lemari, dari balik telinganya. Itu adalah suara duka yang begitu murni hingga membuat bulu kuduk Si Kumis meremang.
Kemudian, di tengah ruangan, kegelapan itu mulai memadat. Mei-Mei menampakkan dirinya dengan perlahan, seolah mengalir keluar dari ketiadaan. Gaun merah darahnya menyerap semua cahaya remang di ruangan, membuatnya tampak seperti sebuah lubang hitam berbentuk manusia. Rambutnya yang panjang melayang-layang pelan di sekelilingnya, meskipun tidak ada angin. Wajahnya pucat dan tanpa ekspresi. Ia adalah sang Ratu yang telah tiba di pusat papan catur, siap untuk mengakhiri permainan.
Sebagai pelengkap, Bima memanifestasikan dirinya di luar jendela, sosoknya yang terbungkus kain kafan dan jaket kuning menjadi sebuah siluet horor yang menghalangi satu-satunya jalan keluar. Ia adalah Benteng yang mengunci semua pelarian.
Si Kumis tidak lagi menjerit. Suaranya telah habis. Ia hanya bisa menatap dua sosok yang telah menghancurkan kewarasannya itu dengan mata yang basah oleh air mata dan teror. Bisikan-bisikan di dunia bawah tanah ternyata benar. Hantu Kunti Merah dan Pocong Kuning itu nyata, dan mereka telah datang untuknya.
"Permainanmu selesai, Kumis," suara Mei-Mei menusuk benak Si Kumis, dingin dan tanpa ampun. "Satu pertanyaan terakhir, sebelum kau membayar utangmu. Siapa di atasmu?"
Pertanyaan itu adalah sebuah tawaran, sebuah kesempatan untuk meringankan hukumannya dengan sebuah pengakuan. Si Kumis, yang kini hanya ingin semua ini berakhir, tidak lagi memiliki kekuatan untuk berbohong. Namun, rasa takutnya pada bosnya di dunia nyata masih bersaing dengan terornya pada hantu di hadapannya.
Melihatnya yang terjebak dalam dilema terakhirnya, Bima merasakan sebuah gema dari perasaan terperangkap itu. Sebuah kenangan dari waktu yang berbeda, saat terperangkap justru terasa seperti sebuah anugerah.
Lift tua di salah satu pusat perbelanjaan kelas menengah itu berderit dan bergetar hebat sebelum berhenti dengan sebuah sentakan keras. Lampu di dalamnya berkedip beberapa kali lalu padam total, digantikan oleh satu lampu darurat kecil di langit-langit yang memancarkan cahaya kuning yang sakit-sakitan.