Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #19

Wajah di Balik Topeng Kedermawanan

Keheningan yang mengikuti kematian Si Kumis terasa berbeda. Setelah eksekusi pertama, Bima merasakan kehampaan. Kini, setelah yang kedua, kehampaan itu mulai terasa seperti sebuah rutinitas yang mengerikan. Setiap nyawa yang mereka ambil tidak mengisi lubang di dalam jiwa mereka, melainkan hanya membuatnya bergema lebih keras.

Mereka melayang tinggi di atas rumah susun yang kini menjadi sebuah makam, menatap hamparan lampu Jakarta yang tak peduli.

"Dua selesai," pikirannya terproyeksi, lebih sebagai sebuah laporan status daripada sebuah pernyataan emosional. "Masih ada yang lain."

Mei-Mei, yang melayang di sampingnya, tidak merespons dengan kata-kata. Auranya yang merah tua berdenyut dengan energi yang dingin dan terfokus. Baginya, ini bukanlah momen untuk refleksi, melainkan momen untuk kalkulasi. Ia sedang memproses nama baru yang mereka dapatkan, Bang Rahmat.

Ini adalah sebuah eskalasi. Si Jangkung dan Si Kumis adalah preman jalanan, bidak-bidak yang mudah ditemukan dan dikorbankan. Tapi "Bang Rahmat", dari nada penuh ketakutan dalam pengakuan Si Kumis, adalah pemain yang berbeda. Ia adalah seorang perwira, mungkin seorang raja, di papan catur ini.

Pencarian mereka pun dimulai dengan metode yang baru. Mereka tidak bisa lagi menyisir gang-gang sempit atau warung kopi. Musuh kali ini kemungkinan besar tidak akan ditemukan di tempat-tempat seperti itu. Mereka butuh informasi. Mereka menjadi hantu-hantu pustakawan, arwah-arwah investigator. Mereka menyelinap masuk ke dalam gedung-gedung arsip surat kabar di malam hari, membaca gulungan-gulungan mikrofilm di atas bahu penjaga malam yang tertidur. Mereka melayang menembus dinding kantor catatan sipil, mencari data, mencari koneksi.

Selama berhari-hari, mereka menyusun sebuah profil, dan apa yang mereka temukan membuat Bima merasakan gelombang kejutan yang dingin.

Target mereka bukanlah seorang bos preman yang bersembunyi di markas rahasia. Ia adalah Rahmat Sulaiman, seorang pengusaha properti yang sukses. Fotonya sering muncul di koran-koran lokal. Bukan di halaman kriminal, melainkan di halaman sosial. Fotonya sedang menyerahkan sumbangan besar untuk sebuah panti asuhan. Fotonya sedang meresmikan pembangunan sebuah masjid yang ia danai. Fotonya sedang tersenyum ramah sambil menyalami pejabat-pejabat kota. Ia adalah seorang dermawan, seorang tokoh masyarakat yang dihormati, seorang pilar komunitas.

Ketidaksesuain antara citra publik lelaki ini dan perannya dalam tragedi mereka begitu ekstrem hingga terasa mencengangkan. Lelaki yang sama yang memerintahkan pembunuhan dan pemerkosaan yang keji, di siang hari adalah lelaki yang dipuji karena kebaikannya. Ia bersembunyi di tempat yang paling terang.

Perburuan mereka kini berubah menjadi pengintaian. Mereka menemukan kediamannya, sebuah rumah mewah yang berdiri angkuh di dalam sebuah kompleks perumahan elit yang dijaga ketat. Dinding tinggi dengan kawat berduri mengelilingi properti itu, dan di pos jaga depan, beberapa satpam berbadan tegap berjaga dua puluh empat jam. Ini adalah sebuah benteng modern.

Selama beberapa malam, Bima dan Mei-Mei hanya mengamati dari kejauhan, melayang di atas pohon palem di seberang jalan. Mereka mempelajari rutinitas di dalam benteng itu. Mereka melihat mobil-mobil mewah datang dan pergi. Mereka melihat Rahmat Sulaiman bermain dengan anak-anaknya di taman belakang yang asri, sebuah pemandangan domestik yang begitu normal hingga terasa cabul.

Di malam ketiga pengintaian mereka, Bima memperhatikan sesuatu yang aneh. Ia fokus pada seorang satpam yang sedang berpatroli di sepanjang dinding perimeter. Satpam itu berjalan dengan langkah yang teratur, lalu berhenti di sudut tertentu, menyalakan rokok, menggaruk lehernya, lalu senternya berkedip dua kali sebelum ia melanjutkan berjalan. Sebuah rutinitas yang biasa.

Lihat selengkapnya