Hari-hari berikutnya terasa seperti sebuah api penyucian yang monoton. Bima dan Mei-Mei telah menjadi penjaga malam tak terlihat bagi rumah mewah Rahmat Sulaiman. Dari tempat mereka bertengger di puncak pohon-pohon palem yang tinggi atau di atap rumah tetangga yang sunyi, mereka menyaksikan sebuah sandiwara kehidupan yang sempurna. Mereka melihat Rahmat sarapan bersama keluarganya di teras belakang, tawanya terdengar begitu normal dan hangat. Mereka melihatnya mengantar anak-anaknya ke mobil sekolah, memberikan ciuman di kening mereka. Mereka melihatnya pulang di sore hari, disambut oleh istrinya dengan senyum.
Setiap adegan kebahagiaan domestik itu adalah sebuah siksaan bagi Bima. Lelaki itu, yang hidup di dalam surga kecil yang ia bangun, adalah arsitek dari neraka yang kini Bima dan Mei-Mei tinggali. Ketidaksesuaian itu begitu hebat hingga membuat Bima merasakan gelombang mual tak kasat mata. Sementara itu, kode-kode di dunia mereka terus berlanjut. Satpam yang berpatroli dalam putaran ulang yang sempurna, mobil pengantar koran yang seolah muncul dan lenyap di titik yang sama setiap pagi. Keanehan-keanehan ini menggerogoti keyakinan Bima pada realitas, membuatnya merasa seperti tikus yang berlari di dalam roda yang tak berujung.
"Kita hanya menonton, Mei," katanya pada Mei-Mei suatu malam, sarat dengan frustrasi. "Kita melihatnya hidup bahagia di dalam bentengnya, sementara kita terkurung di luar sini. Kita tidak bisa menyentuhnya. Kita tidak bisa melakukan apa-apa."
Mei-Mei, yang melayang diam di sampingnya, tidak langsung merespons. Auranya yang merah tua berdenyut pelan, seperti bara api yang sedang mengumpulkan panas. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjawab, dan suaranya terdengar begitu tenang dan penuh perhitungan hingga membuat Bima merinding.
"Kamu benar. Informasi yang kita miliki tidak cukup untuk menembus benteng itu," pikirnya terproyeksi. "Kita tahu dia adalah dalangnya, tapi kita tidak tahu bagaimana cara kerjanya, di mana kelemahannya. Untuk itu, ada satu tempat lagi yang harus kita datangi untuk mendapatkan jawaban."
Bima merasa bingung. "Tempat apa lagi? Kita sudah memeriksa arsip, kita sudah mengikutinya."
"Bukan tempat fisik, Bim-Bim," lanjut Mei-Mei. "Sebuah tempat di dalam kepala kita. Pintu terakhir yang belum kita buka. Pintu yang paling menakutkan."
Bima langsung mengerti. Ingatan akan hari kerusuhan itu. Memori dari penyerangan mereka. Sebuah lubang hitam di dalam sejarah mereka, yang selama ini secara tidak sadar selalu mereka hindari. Pikiran untuk kembali ke sana, untuk menghidupkan ulang momen itu, membuat esensi Bima menciut ketakutan.
Mei-Mei seolah merasakan ketakutannya. "Aku juga takut," katanya mengakui, sebuah momen kerapuhan yang langka. "Tapi pikirkan ini secara logis. Dulu, kita adalah korban yang panik di tengah kekacauan. Kita tidak melihat gambaran besarnya. Sekarang, kita berbeda. Kita adalah penyintas yang kembali sebagai investigator. Mungkin, hanya mungkin, jika kita kembali ke sana dengan kesadaran kita yang sekarang, kita bisa melihat sesuatu yang kita lewatkan. Sebuah detail kecil, sebuah perintah, sebuah nama, sesuatu yang bisa kita gunakan sebagai senjata."
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Kali ini berbeda. Kita tidak akan merasakannya lagi. Kita akan mengamatinya bersama."
Kata "bersama" itu menjadi jangkar bagi Bima. Ia menatap sosok Mei-Mei, melihat tekad baja di dalam auranya. Ia benar, mereka tidak bisa selamanya lari dari pusat trauma mereka. Untuk bisa maju, mereka harus kembali ke titik nol. Dengan perasaan gentar, Bima memproyeksikan persetujuannya.