Keheningan yang menyelimuti atap gedung itu setelah mereka kembali dari badai kenangan terasa berbeda. Itu bukan lagi keheningan yang sarat dengan duka atau kebingungan. Itu adalah keheningan yang padat, dingin, dan tajam. Keheningan dari dua bilah pedang yang baru saja selesai ditempa dalam api dan kini siap untuk digunakan.
Kenangan mengerikan itu tidak menghancurkan mereka. Sebaliknya, ia telah membakar habis semua sisa keraguan dan kerapuhan yang mungkin masih ada. Bima menatap Mei-Mei. Aura merah di sekelilingnya kini tidak lagi bergejolak seperti lautan amarah; ia menyala dengan api yang stabil dan terkendali, seperti inti dari sebuah reaktor. Semua sisi lain dari dirinya, gadis cerdas yang penuh analisis, kekasih yang lembut telah melebur dan menyatu menjadi satu hal, ‘sang pembalas dendam’.
Proyeksi pikiran pertama Mei-Mei setelah keheningan panjang itu bukanlah sebuah rencana, melainkan sebuah deklarasi.
"Kita datangi rumahnya. Malam ini."
Tidak ada lagi strategi pengintaian. Tidak ada lagi permainan psikologis yang lambat. Untuk sang dalang, mereka sepakat tanpa kata bahwa yang pantas ia terima adalah teror yang langsung dan tanpa ampun. Mereka akan meruntuhkan surga kecilnya, sama seperti ia telah meruntuhkan surga mereka.
Perjalanan mereka menuju kompleks perumahan elit itu terasa seperti sebuah ziarah kelam. Mereka tidak lagi melayang tanpa tujuan, mereka melesat menembus malam dengan kecepatan dan efisiensi dua misil gaib yang telah mengunci targetnya.
Mereka tiba di depan benteng kemunafikan Rahmat Sulaiman. Rumah mewah itu berdiri angkuh di bawah cahaya bulan, tampak damai dan tenteram, sebuah ironi yang begitu menusuk. Dinding tinggi yang mengelilinginya tampak seperti penghalang fisik yang sepele bagi dua arwah yang bisa menembus materi padat.
"Aku akan masuk lewat kamarnya. Kamu jaga di luar, pastikan enggak ada yang bisa lari," kata Mei-Mei.
Bima mengangguk. Ia melayang ke arah gerbang utama, sementara Mei-Mei melesat naik, menuju balkon kamar tidur utama di lantai dua.
Saat Mei-Mei mencoba untuk menembus dinding kaca balkon itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tepat sebelum esensinya menyentuh permukaan kaca, ia terlempar ke belakang oleh sebuah kekuatan tak terlihat, seolah menabrak sebuah dinding karet yang berdenyut dengan energi aneh. Sebuah pekikan frustrasi tanpa suara terpancar darinya.
Bima, yang merasakan guncangan energi itu dari kejauhan, segera melesat ke arahnya.
"Ada apa?"