Kekalahan telak di depan benteng gaib Rahmat Sulaiman tidak mematahkan semangat mereka. Sebaliknya, itu justru mengasah fokus mereka. Mereka mundur ke “markas” tak resmi mereka, atap gedung tua tempat Bima pertama kali tersadar, untuk menyusun kembali strategi. Langit malam Jakarta menjadi papan tulis bagi rencana baru mereka.
"Kita tidak bisa melawannya secara langsung," kata Bima, masih merasakan sisa sengatan dari perisai gaib itu. "Energi itu terlalu kuat, terlalu kuno. Seperti mencoba meninju dinding benteng."
"Tepat," balas Mei-Mei, aura analitisnya kini kembali dominan. "Dan setiap benteng memiliki penjaga. Setiap perisai sihir memiliki perapalnya. Kita menyerang sasaran yang salah. Dinding itu hanyalah hasil karya. Kita harus menemukan senimannya."
Pertanyaannya adalah, bagaimana cara menemukan seorang dukun sakti yang bekerja untuk salah satu orang paling berkuasa di kota? Ia tidak akan memasang iklan di koran atau memiliki papan nama di depan rumahnya. Ia akan bersembunyi dalam kerahasiaan, dilindungi oleh kekayaan dan kekuasaan kliennya.
Mei-Mei, dengan logikanya yang tajam, menemukan sebuah metode. "Perisai itu," jelasnya, "pasti memiliki sumber. Seperti sinyal radio yang berasal dari sebuah menara pemancar. Ia tidak muncul begitu saja. Pasti ada sejenis 'utas' energi yang menghubungkan perisai itu dengan perapalnya. Kita tidak bisa menghancurkan sinyalnya, tapi mungkin kita bisa mengikuti jejak sinyal itu kembali ke sumbernya."
Bima, dengan jiwanya yang lebih sensitif dan puitis, memahami konsep itu dengan caranya sendiri. Ia harus "mendengarkan" melodi dari sihir itu dan mencari sang pemusiknya. Perpaduan antara logika psikologis Mei-Mei dan kepekaan sastrawi Bima kembali menjadi senjata utama mereka.
Mereka kembali ke kompleks perumahan mewah itu. Kali ini, mereka tidak mendekat dengan niat menyerang. Mereka mendekat dengan hati-hati, seperti seorang ahli yang sedang memeriksa sebuah artefak kuno. Mereka "menyentuh" perisai gaib itu dengan kesadaran mereka, tidak dengan kekuatan, melainkan dengan kepekaan.
Bagi Bima, perisai itu terasa kasar dan tua. Rasanya seperti menyentuh kulit pohon beringin yang usianya ratusan tahun, dan aromanya adalah campuran antara bau dupa kemenyan yang dibakar, karat besi, dan tanah kuburan. Itu adalah sihir yang berakar pada bumi dan tradisi.
Bagi Mei-Mei, perisai itu adalah sebuah jalinan mantra yang kompleks. Ia bisa melihat lapisannya, ada mantra penolak bala, mantra pengunci, dan mantra ilusi yang membuat rumah itu tampak biasa saja bagi mereka yang memiliki kepekaan gaib. "Ini bukan karya amatir," pikirnya terproyeksi. "Ini adalah karya seorang master."
Setelah beberapa saat mendengarkan dan merasakan, mereka menemukannya. Sebuah utas energi yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, memancar dari pusat rumah itu dan membentang jauh ke arah selatan. Utas itu berdenyut dengan energi yang sama seperti perisai itu sendiri. Mereka telah menemukan kabel dayanya.