Rumah joglo tua itu berdiri seperti sebuah pulau keheningan di tengah lautan kebisingan suburban. Rumpun bambu kuning yang mengelilinginya bukan hanya berfungsi sebagai pagar fisik, tetapi juga sebagai peredam, memfilter suara-suara dunia luar dan menyisakan sebuah atmosfer yang sakral dan tak tersentuh oleh waktu.
Bagi Bima dan Mei-Mei, mendekati rumah ini terasa sangat berbeda dari mendekati sarang preman atau rumah mewah Rahmat. Di sini, udaranya terasa padat dan bergetar dengan energi yang begitu murni dan kuno.
Mereka melayang diam di antara batang-batang bambu, mengamati target baru mereka. Di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya hangat dari beberapa lampu minyak, duduk seorang lelaki tua kurus. Ia bersila di atas tikar pandan, punggungnya lurus seperti seorang pertapa, rambut putihnya yang panjang diikat rapi. Asap tipis dari kemenyan yang dibakar di sebuah anglo kecil menari-nari pelan di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang tajam dan mistis. Tidak ada jimat-jimat palsu atau pernak-pernik klenik yang mencolok seperti di tempat Mbah Gareng. Setiap benda di ruangan ini, sebuah keris tua yang tergantung di dinding, beberapa mangkuk berisi bunga-bunga segar, sebuah kitab usang yang diletakkan di meja rendah terasa otentik dan memiliki kekuatannya sendiri.
Lelaki tua itu duduk dalam meditasi yang dalam, matanya terpejam, napasnya nyaris tak terlihat. Ia tampak begitu rapuh, begitu fana. Namun, Bima dan Mei-Mei bisa merasakan kekuatan yang luar biasa tersimpan di dalam dirinya, sebuah energi yang tenang namun dahsyat seperti sebuah gunung berapi yang sedang tertidur. Inilah sumber dari perisai gaib yang telah mengalahkan mereka. Inilah sang penjaga gerbang.
"Dia hanya manusia tua," pikiran Mei-Mei terproyeksi, sarat dengan ketidaksabaran dan amarah yang kembali memanas. Setelah kekalahan mereka di rumah Rahmat, egonya yang penuh dendam merasa terluka. "Apapun kekuatannya, dia terikat pada tubuh fisik yang lemah. Kita serang kesadarannya bersama-sama. Dia tidak akan bisa menahannya."
Bima merasakan keraguan. Sesuatu tentang ketenangan lelaki tua ini membuatnya merasa gentar. Ini bukan seperti preman-preman yang energinya kacau dan penuh lubang. Energi lelaki ini solid, terpusat, dan tanpa celah. Namun, ia menekan keraguannya dan mengangguk setuju. Ia percaya pada kekuatan Mei-Mei, kekuatan yang lahir dari penderitaan mereka yang paling dalam.
Mereka memutuskan untuk menyerang.
Mei-Mei menjadi ujung tombak. Ia mengumpulkan semua amarah dan rasa sakit dari kenangan di ruko itu, memadatkannya menjadi sebuah proyektil psikis yang mengerikan. Sebuah jeritan mental yang tak bersuara, yang mampu meretakkan kewarasan manusia biasa, ia tembakkan langsung ke arah kesadaran sang dukun yang sedang bermeditasi.
Saat serangan itu hampir mengenai sasarannya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Lelaki tua itu membuka matanya. Matanya tidak menunjukkan keterkejutan atau ketakutan. Mata itu tampak begitu tua, lebih tua dari usianya, memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan dari berabad-abad yang lalu. Tanpa panik, ia mengangkat satu tangannya yang kurus, telapaknya terbuka menghadap ke arah serangan Mei-Mei.
Tepat di depan telapak tangannya, sebuah perisai cahaya berwarna keemasan muncul dari udara tipis. Perisai itu tidak besar, hanya seukuran piring, namun ia berputar perlahan, memancarkan pola-pola rumit yang menyerupai aksara Jawa kuno. Jeritan psikis Mei-Mei yang penuh amarah itu menghantam perisai cahaya tersebut, namun bukannya hancur, energi serangan itu justru terserap ke dalamnya tanpa meninggalkan riak sedikit pun, seperti sebuah batu yang dilempar ke dalam danau yang tak berdasar.
Mei-Mei terkesiap secara mental, terkejut karena serangannya yang paling kuat berhasil dinetralisir dengan begitu mudah.