Kekalahan itu meninggalkan gema yang sunyi. Bima dan Mei-Mei mundur ke markas tak resmi mereka, atap gedung tua yang menjadi saksi bisu kebangkitan mereka.
Mereka melayang dalam keheningan untuk waktu yang lama, masing-masing memproses apa yang baru saja terjadi. Untuk pertama kalinya, mereka tidak hanya menghadapi kekejian manusia, tetapi juga kekuatan gaib yang terlatih, disiplin, dan jauh lebih superior.
Mei-Mei adalah yang pertama memecah keheningan itu. Auranya yang merah tidak lagi menyala-nyala karena frustrasi, melainkan berdenyut dengan energi dingin dari sebuah analisis yang mendalam.
"Kita kalah telak," katanya, sebuah pengakuan yang jujur dan tanpa basa-basi. "Energi kita kacau, emosional. Seperti seorang petarung jalanan yang mengandalkan amarah. Sedangkan energinya terstruktur, tenang, dan disiplin. Seperti seorang master kungfu yang telah berlatih puluhan tahun."
Bima, yang masih merasakan getaran dari gelombang energi keemasan sang dukun, menambahkan metaforanya sendiri. "Dia tahu 'tata bahasa' dari dunia ini, Mei," balas Bima. "Dia bisa menyusun mantra-mantra yang rumit. Sementara kita ... hanya bisa berteriak."
Mereka sampai pada kesimpulan yang sama. Menyerang sang dukun secara langsung adalah sebuah misi bunuh diri. Kekuatan mereka, yang lahir dari trauma dan emosi yang meluap-luap, adalah senjata yang ampuh untuk meneror manusia biasa yang rapuh. Namun, di hadapan seorang praktisi yang telah mendedikasikan hidupnya untuk memahami dan mengendalikan energi gaib, kekuatan mereka tak lebih dari amukan seorang anak kecil.
"Kita tidak bisa melawannya dengan menjadi lebih kuat," lanjut Mei-Mei. "Kita harus menemukan kelemahannya. Setiap benteng, sekuat apapun, pasti memiliki retakan. Setiap perisai pasti memiliki celah. Kita hanya belum tahu di mana harus mencarinya."
Masalahnya adalah, mereka tidak tahu apa-apa tentang jenis sihir yang digunakan oleh dukun itu. Mereka adalah arwah-arwah baru yang buta akan aturan dan sejarah dari dunia yang kini mereka huni. Mereka butuh informasi. Mereka butuh sebuah perpustakaan gaib, seorang guru, atau seorang informan.
Saat itulah sebuah ide gila melintas di benak Bima. Sebuah ide yang lahir dari cerita-cerita hantu konyol yang sering ia dan teman-temannya ceritakan saat di kampus untuk menakut-nakuti satu sama lain. Cerita-cerita tentang arwah-arwah "penunggu", roh-roh tua yang telah mendiami tempat-tempat tertentu di Jakarta selama berabad-abad. Mereka bukan hantu penasaran seperti Bima dan Mei-Mei. Mereka adalah entitas yang lebih tua, lebih terikat pada tempatnya, dan seringkali, netral dalam urusan arwah-arwah baru.
"Bagaimana jika kita bertanya?" kata Bima menyampaikan idenya dengan ragu. "Cerita-cerita lama ... tentang 'Datuk' penunggu pemakaman keramat, atau arwah noni Belanda di museum. Bagaimana jika mereka nyata? Mereka mungkin tahu sesuatu tentang sihir semacam itu."
Mei-Mei terdiam sejenak, menimbang ide yang liar itu. Itu adalah sebuah pertaruhan yang luar biasa. Arwah-arwah tua seperti itu bisa saja sangat teritorial, tidak peduli, atau bahkan memusuhi mereka. Namun, di titik ini, mereka tidak punya banyak pilihan.
"Itu adalah hipotesis yang patut diuji," jawabnya akhirnya, nada seorang peneliti kembali terdengar. "Risikonya tinggi, tapi potensi hasilnya juga sepadan."