Sosok yang terbentuk dari akar dan tanah di hadapan mereka memancarkan aura kekuatan yang begitu tua hingga membuat eksistensi Bima dan Mei-Mei yang baru seumur jagung terasa begitu rapuh. Ini bukan energi amarah atau duka seperti milik mereka, bukan pula energi disiplin seperti milik sang dukun. Ini adalah energi alam itu sendiri, sabar, netral, dan tak terukur. Mata di dalam sosok elemental itu, dua titik cahaya pucat yang redup, menatap mereka, seolah menimbang bobot jiwa mereka.
"Siapa yang berani mengusik ketenanganku?" Suara kuno itu kembali bergema di benak mereka, tidak marah, hanya sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban yang jujur.
Bima, mengingat pelajaran dari kenangannya tentang Profesor Widagdo, mengambil inisiatif. Ia memproyeksikan pikirannya dengan penuh rasa hormat, menundukkan kepalanya.
"Wahai Penjaga," Bima memulai. "Kami adalah dua arwah yang tersesat, terikat pada dunia ini oleh sebuah ketidakadilan. Nama saya Bima, dan ini adalah Mei-Mei. Kami tidak datang untuk mengusik, kami datang untuk mencari pengetahuan."
Ia kemudian menceritakan kisah mereka secara singkat dan padat, cinta mereka yang direnggut, pembunuhan brutal saat kerusuhan, dan misi mereka untuk mencari kebenaran. Ia tidak membesar-besarkan penderitaan mereka atau memohon belas kasihan. Ia hanya menyajikan fakta, seperti seorang mahasiswa yang memaparkan latar belakang penelitiannya.
Saat Bima selesai, Mei-Mei menambahkan detail yang paling krusial. "Kami telah menemukan dalang di balik semua ini, seorang lelaki bernama Rahmat Sulaiman. Namun, ia dilindungi oleh seorang penjaga seperti Anda. Seorang dukun sakti yang perisai gaibnya tidak bisa kami tembus. Energinya tenang dan berwarna keemasan, menolak semua amarah dan duka kami. Kami tidak tahu bagaimana cara melawannya."
Sosok Datuk itu terdiam lama setelah mereka selesai. Keheningannya terasa berat, seolah ia sedang mengakses kebijaksanaan dari tanah yang ia jaga. Bima dan Mei-Mei menunggu dengan sabar, tidak berani menyela.
"Aku merasakan kebenaran dalam ceritamu, Anak Manusia," suara Datuk itu akhirnya kembali terdengar. "Aku merasakan dukamu yang dalam, dan amarah gadismu yang membara seperti api di jantung bumi. Tapi aku harus bertanya ..."
Mata cahaya itu seolah menatap langsung ke dalam jiwa mereka.
"Kalian mencari keadilan, atau sekadar pembalasan dendam?"
Pertanyaan itu menusuk tajam. Mei-Mei langsung menjawab dengan sengit. "Untuk apa yang telah mereka perbuat pada kami, apa bedanya? Darah harus dibayar dengan darah!"
Datuk itu tidak goyah oleh amarah Mei-Mei. "Pembalasan dendam adalah sebuah siklus, Gadis Merah. Kau mengambil satu nyawa, energi kebenciannya akan melahirkan kebencian baru. Itu adalah jalan yang tidak memiliki ujung, sebuah keabadian di dalam penderitaan yang kau ciptakan sendiri."