Kekalahan di depan rumah joglo sang dukun terasa seperti sebuah tamparan keras yang menyadarkan mereka dari amukan buta. Untuk pertama kalinya sejak pembalasan dendam mereka dimulai, mereka dihadapkan pada sebuah kekuatan yang tidak bisa dilawan dengan amarah, sebuah kebijaksanaan yang tidak bisa ditembus oleh teror. Kekalahan itu memaksa mereka untuk berhenti dan berpikir, sesuatu yang belum pernah benar-benar mereka lakukan sejak aliansi mereka terbentuk.
Mereka kembali ke tempat perlindungan tak resmi mereka, atap gedung tua yang menjadi saksi bisu kelahiran kembali Bima sebagai arwah. Dari ketinggian ini, Jakarta terhampar di bawah mereka, sebuah papan catur raksasa yang berkelip-kelip, dan mereka baru saja menyadari bahwa mereka telah memainkan permainan yang salah selama ini. Angin malam yang dingin bertiup, menembus wujud tak kasat mata mereka, seolah membisikkan pesan tentang kesia-siaan kekuatan mentah.
Mei-Mei adalah yang pertama memecah keheningan. Auranya yang merah tidak lagi bergejolak liar. Kini ia tenang, terkendali, seperti bara api yang menyimpan panasnya di inti terdalam. Kekalahan itu tidak memadamkan apinya, melainkan memurnikannya, mengubahnya dari api yang membakar hutan menjadi api las yang mampu menembus baja.
"Fondasi imannya," kata Mei-Mei, mengulang kata-kata kunci sang Datuk. Itu bukan lagi sekadar informasi, tapi sebuah diagnosis. "Ini bukan lagi tentang sihir, Bim-Bim. Ini tentang psikologi. Keyakinan Ki Ageng pada keseimbangan alam dan keadilan ilahi adalah kerangka kognitifnya, seluruh sistem operasi yang menopang realitasnya. Jika kita bisa menyajikan sebuah anomali, sebuah data yang begitu brutal dan tidak adil hingga tidak bisa lagi diproses oleh kerangka itu, kita bisa menyebabkan ketidaknyamanan mental yang hebat. Sebuah ‘error’ dalam sistemnya. Cukup untuk meretakkan pertahanannya dari dalam."
Bima meresapi analisis Mei-Mei yang tajam. Ia, sebagai seorang mahasiswa Sastra, memahami konsep itu melalui lensanya sendiri, lensa narasi dan cerita. "Jadi," pikirannya menyambung, menangkap ide Mei-Mei dengan cepat, "kita tidak akan menyerangnya dengan cerita kita. Kita akan menjadi cerita itu. Kita akan menjadi sebuah sajak horor yang hidup, sebuah tragedi berjalan yang tidak bisa ia bantah atau abaikan. Kita harus menyusun narasinya dengan sempurna, dari pembukaan hingga klimaks yang paling menyakitkan."
Inilah rencana baru mereka. Sebuah strategi yang lahir dari perpaduan sempurna antara disiplin ilmu mereka di masa lalu. Mereka tidak akan lagi datang sebagai dua arwah yang mengamuk. Mereka akan datang sebagai jaksa penuntut gaib, membawa satu berkas perkara yang tak terbantahkan, kehidupan dan kematian mereka. Dan Ki Ageng Rahsa akan menjadi hakim yang dipaksa untuk melihat setiap lembar bukti yang akan menghancurkan keyakinannya pada keadilan di alam semesta.
Untuk melakukan itu, mereka harus berlatih. Mereka harus menguasai kemampuan untuk memproyeksikan memori, bukan lagi sebagai kilasan yang tak terkendali, melainkan sebagai sebuah film yang mereka sutradarai sendiri. Proses latihan itu adalah sebuah perjalanan menyusuri kembali jalan kenangan mereka yang paling menyakitkan. Mereka harus dengan sengaja menyelami kembali momen-momen paling membahagiakan, bukan untuk mencari kehangatan, melainkan untuk membedahnya, untuk mengekstrak esensi dari kebahagiaan itu dan mengubahnya menjadi senjata.
Upaya pertama mereka terasa canggung dan menyakitkan. Bima mencoba memproyeksikan kenangan saat ia membelikan Mei-Mei es mambo di bawah pohon beringin kampus. Namun, kenangan itu tidak stabil. Gambaran Mei-Mei yang tertawa riang terus berkedip-kedip, tumpang tindih dengan wujud Kuntilanak Merahnya yang penuh duka. Rasa manis dari es mambo itu bercampur dengan rasa pahit dari kehilangan, menciptakan sebuah pengalaman yang membingungkan bagi mereka berdua.
Namun, mereka tidak menyerah. Mereka berlatih lagi dan lagi. Bima belajar untuk memegang emosinya, menjadi proyektor yang objektif. Ia memfokuskan diri pada detail-detail sensoris, hangatnya sinar matahari, tekstur tetesan embun di plastik es, suara tawa Mei-Mei yang renyah. Mei-Mei, di sisi lain, bertindak sebagai sutradara. Ia belajar untuk menyusun "adegan-adegan" itu secara berurutan, menciptakan sebuah alur naratif yang akan mengalir dengan mulus di dalam benak sang dukun.