Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #27

Pertarungan Puncak: Dua Dunia Bertemu

Malam berikutnya tiba dengan keheningan yang sarat dengan antisipasi. Tidak ada lagi keraguan atau perdebatan dalam diri Bima dan Mei-Mei. Latihan mereka telah selesai. Narasi mereka telah tersusun rapi. Mereka adalah dua aktor yang telah hafal setiap baris dialog dan setiap blok adegan, siap untuk naik ke panggung mereka yang paling penting.

Perjalanan mereka menuju rumah joglo Ki Ageng Rahsa tidak lagi terasa seperti sebuah misi spionase. Kali ini, rasanya seperti sebuah prosesi yang khidmat dan tak terhindarkan. Mereka adalah sebuah tragedi yang berjalan, siap untuk menceritakan kisahnya.

Mereka tiba di depan pagar bambu kuning yang sunyi. Rumah joglo itu tampak sama seperti sebelumnya, sebuah pulau ketenangan di tengah hiruk pikuk dunia. Asap kemenyan yang tipis masih menari-nari dari dalam, dan Bima bisa merasakan kehadiran sang dukun yang sedang duduk bermeditasi, energinya yang tenang dan kuat menyelimuti tempat itu seperti sebuah kubah tak terlihat. Namun, kali ini, Bima dan Mei-Mei tidak merasa gentar. Mereka tidak datang untuk menghancurkan kubah itu; mereka datang untuk mengetuk pintunya.

Tanpa perlu aba-aba, mereka memulai pertunjukan mereka.

Mereka tidak mencoba masuk. Mereka berdiri di luar batas properti, di jalanan yang sepi, dan mulai memproyeksikan narasi mereka. Ini bukan serangan psikis yang kasar seperti yang mereka lancarkan pada para preman. Ini adalah sebuah siaran mental yang lembut, sebuah undangan untuk menonton.

Babak pertama dari cerita mereka adalah tentang kepolosan.

Ki Ageng Rahsa, yang sedang duduk dalam semedi yang dalam, merasakan sebuah gangguan. Bukan sebuah serangan, melainkan sebuah gambaran yang tiba-tiba muncul di dalam ruang batinnya yang hening. Gambaran sebuah kantin fakultas yang ramai di bawah sinar matahari. Ia melihat seorang pemuda kikuk berambut gondrong yang mencoba merayu seorang gadis cerdas bermata sipit dengan kutipan puisi. Ia merasakan kegugupan sang pemuda dan geli hati sang gadis.

Awalnya, ia mencoba menepisnya. Ia memperkuat perisai emas di sekeliling kesadarannya, menganggapnya sebagai gangguan dari arwah-arwah rendahan. Namun, gambaran itu tidak agresif. Ia tidak mencoba menembus perisainya; ia hanya ada di sana, di luar dinding pertahanannya, memancarkan kehangatan dan kepolosan yang begitu tulus hingga sulit untuk diabaikan sepenuhnya.

Kemudian, adegan berganti. Kini ia melihat pemuda dan gadis yang sama di dalam sebuah bioskop yang gelap, saling curi pandang di antara cahaya layar yang berkedip-kedip. Ia merasakan debaran jantung mereka yang canggung saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan di dalam kotak popcorn.

Adegan berganti lagi. Ia melihat mereka berdua di dalam kamar kos yang sempit saat hujan badai, sang pemuda dengan sabar menenangkan sang gadis yang ketakutan pada petir. Ia merasakan rasa aman dan kepercayaan yang mutlak di antara mereka.

Ki Ageng Rahsa mulai merasa bingung. Siapakah arwah-arwah ini? Mengapa mereka tidak menyerangnya dengan amarah atau kebencian, melainkan dengan rentetan kenangan yang begitu indah dan penuh cinta ini? Rasa ingin tahu seorang spiritualis mulai mengalahkan kewaspadaan seorang penjaga. Perlahan, tanpa sadar, ia sedikit melonggarkan perisainya, membiarkan cerita itu mengalir lebih jernih ke dalam benaknya.

Saat itulah Bima, yang merasakan celah kecil itu, terlempar ke dalam kenangan tentang pertarungan lain yang juga mereka menangkan dengan argumen dan penampilan.

Lampu auditorium terasa panas di wajah Bima. Ratusan pasang mata menatapnya. Di hadapannya, duduk tiga orang juri dengan wajah serius. Di seberangnya, tim lawan dari Fakultas Hukum menatapnya dengan senyum tipis yang meremehkan. Ini adalah babak final dari kompetisi debat universitas.

Lihat selengkapnya