Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #28

Wajah Tanpa Penyesalan

Keheningan yang ditinggalkan di depan rumah joglo Ki Ageng Rahsa terasa sarat dengan potensi. Itu bukan keheningan damai, melainkan keheningan tegang di medan perang setelah artileri pembuka berhasil menghancurkan pertahanan musuh. Bima dan Mei-Mei tidak menunggu untuk melihat dampak penuh dari serangan psikologis mereka. Mereka tahu hanya memiliki jendela waktu yang sempit sebelum sang dukun berhasil menenangkan batinnya dan membangun kembali perisainya. Mereka harus bergerak sekarang.

Perjalanan mereka kembali ke kompleks perumahan elit Rahmat terasa seperti sebuah mimpi yang melesat cepat. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi perdebatan batin. Kenangan akan kemenangan intelektual mereka di masa lalu dan keberhasilan strategi mereka barusan telah menempa mereka menjadi satu kesatuan yang efisien dan mematikan. Amarah Mei-Mei kini menjadi pedang yang terfokus, dan duka Bima menjadi perisai yang dingin.

Saat mereka tiba di depan benteng Rahmat Sulaiman, perbedaannya langsung terasa. Aura keemasan yang tenang dan tak tertembus yang dulu menyelimuti properti itu kini berkedip-kedip dengan lemah, warnanya pucat dan compang-camping seperti kain sutra yang robek. Ada lubang-lubang besar di dalam perisai gaib itu, hasil dari iman sang penjaga yang kini sedang terguncang. Bagi Bima dan Mei-Mei, lubang-lubang itu adalah undangan.

Tanpa kesulitan, mereka melayang menembus dinding perimeter yang tinggi, melewati para satpam manusia yang sama sekali tidak menyadari kehadiran mereka. Mereka kini berada di dalam sarang singa. Halaman rumput yang terawat sempurna, kolam renang yang airnya biru berkilauan di bawah cahaya lampu taman, dan rumah mewah yang menjulang diam. Semua kemakmuran ini terasa seperti sebuah penghinaan, sebuah monumen yang dibangun di atas kuburan mereka.

Mereka menyelinap masuk ke dalam rumah itu, menembus dinding marmer yang dingin. Interiornya adalah sebuah pameran kemunafikan. Di ruang keluarga yang luas, sebuah foto keluarga besar yang bahagia tergantung di atas perapian yang megah. Di sepanjang koridor, kaligrafi-kaligrafi ayat suci dalam bingkai emas yang mahal dipajang dengan anggun. Setiap objek di rumah itu seolah berteriak tentang citra kesalehan dan kehangatan keluarga, sebuah topeng yang begitu tebal hingga nyaris membuat Bima tertawa getir.

Mereka bergerak dari ruangan ke ruangan, dua bayangan kematian yang melayang tanpa suara. Di kamar tidur utama, mereka melihat istri Rahmat tertidur lelap, wajahnya damai. Di kamar sebelah, anak-anaknya tidur di dalam kamar yang dipenuhi mainan mahal. Bima merasakan sedikit getaran ketidaknyamanan. Mereka adalah orang-orang tak berdosa yang hidup nyaman berkat dosa-dosa sang kepala keluarga. Namun, tatapan Mei-Mei yang tajam dan dingin menariknya kembali pada misi mereka. Mereka bukan targetnya.

Mereka akhirnya menemukannya. Di sebuah ruang kerja yang mewah, dilapisi panel kayu gelap dan dipenuhi rak-rak buku yang Bima tahu tak pernah dibaca. Rahmat Sulaiman sedang duduk di kursi kulitnya yang besar, membelakangi pintu. Ia tidak sedang bersantai. Ia sedang berbicara di telepon, suaranya rendah, serak, dan penuh dengan ancaman yang terselubung.

"... Saya tidak mau tahu bagaimana caranya," kata Rahmat ke gagang telepon. "Proyek itu harus diamankan. Kalau ada warga yang masih menolak, 'yakinkan' mereka. Gunakan cara-cara yang biasa kita pakai. Saya bayar kalian bukan untuk mendengar keluhan."

Ia berhenti sejenak, mendengarkan jawaban dari seberang. "Bagus. Segera laporkan kalau sudah beres."

Ia menutup telepon, menghela napas panjang, lalu memutar kursinya. Saat itulah ia merasakan sesuatu. Sebuah hawa dingin yang tak wajar di dalam ruangannya yang ber-AC. Sisa-sisa dari perisai gaibnya yang melemah mengirimkan sinyal bahaya terakhir. Ia mengerutkan kening, matanya menyapu sekeliling ruangan yang kosong.

"Siapa di sana?" tanyanya, suaranya mencoba terdengar tegas namun ada getaran samar di baliknya.

Menyaksikannya yang begitu mudahnya memerintahkan kekerasan, begitu acuh tak acuh pada nasib orang-orang kecil yang menghalangi jalannya, mengingatkan Bima pada sebuah kenangan lain tentang kekuasaan yang kejam dan kasual.

Suasana di depan ruang dosen terasa tegang. Para mahasiswa berkerumun, menatap papan pengumuman di mana nilai akhir semester baru saja ditempel. Ada pekikan kegembiraan, helaan napas lega, dan isak tangis yang tertahan.

Lihat selengkapnya