Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #29

Fajar Setelah Badai

Keheningan yang mengikuti kematian Rahmat Sulaiman terasa absolut. Suara jeritannya yang terakhir seolah diserap oleh dinding-dinding kayu yang mahal, lenyap tanpa bekas. Di tengah ruangan yang porak-poranda, kertas-kertas berhamburan seperti daun kering, perabotan mewah yang hancur menjadi serpihan, berbaringlah tubuh sang dalang, kini tak lebih dari sebongkah daging yang mendingin. Kepala ular itu telah dipenggal.

Bima dan Mei-Mei melayang di tengah kehancuran yang mereka ciptakan. Energi mereka terkuras habis. Pertarungan melawan Ki Ageng Rahsa dan konfrontasi terakhir dengan Rahmat telah memakan semua sisa kekuatan yang mereka miliki. Amarah Mei-Mei yang tadinya berkobar seperti matahari kini telah padam, menyisakan aura merah yang redup dan lelah. Bima merasakan kekosongan yang luar biasa, seolah seluruh tujuan keberadaannya sebagai arwah baru saja dicabut dari akarnya.

Mereka menunggu, walau tidak tahu persis apa yang mereka tunggu, tapi di dalam benak mereka, ada sebuah ekspektasi yang tertanam dari ribuan cerita hantu yang pernah mereka dengar. Mereka menunggu sebuah pelepasan. Sebuah cahaya putih di ujung terowongan. Perasaan damai yang menyelimuti jiwa saat tugas di dunia telah selesai. Mereka menunggu bel terakhir, tanda bahwa pertunjukan mengerikan ini telah berakhir dan mereka diizinkan untuk turun panggung.

Satu menit berlalu, lima menit, lalu lima belas. Tidak ada yang terjadi.

Keheningan di ruangan itu tidak lagi terasa seperti sebuah kemenangan, melainkan sebuah kekosongan yang canggung. Tubuh Rahmat masih tergeletak di lantai. Cahaya dari lampu kota masih menyinari ruangan melalui jendela yang pecah. Dunia di luar terus berjalan, seolah tidak terjadi apa-apa. Dan mereka ... masih di sana. Terikat pada kain kafan dan gaun merah mereka, terperangkap.

"Sudah selesai," kata Bima, lebih sebagai sebuah pertanyaan daripada pernyataan.

"Ya," balas Mei-Mei, suaranya terdengar datar dan hampa. "Sudah selesai."

Tidak ada nada kelegaan dalam jawaban itu. Hanya sebuah konfirmasi yang lelah. Misi mereka telah berhasil, namun hadiahnya tidak kunjung datang. Mereka adalah dua karyawan yang telah menyelesaikan proyek besar mereka, namun kini mereka terjebak di dalam kantor yang kosong, tanpa ada yang memberitahu mereka apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Dengan perasaan aneh yang bercampur antara kekecewaan dan kegelisahan, mereka memutuskan untuk pergi. Mereka melayang menembus dinding yang hancur, meninggalkan jasad musuh mereka dalam keheningan makam barunya. Mereka kembali ke taman di halaman depan, berharap udara malam yang terbuka akan memberikan kejelasan.

Saat itulah mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat, sangat salah.

Dunia di luar rumah itu tidak lagi sama seperti saat mereka masuk. Halaman rumput yang tadinya terawat sempurna kini tampak buram, detail dari setiap helai rumputnya seolah hilang, seperti sebuah lukisan cat air yang belum kering. Kolam renang di kejauhan tidak lagi memantulkan cahaya lampu dengan jernih,  permukaannya datar dan mati seperti kaca hitam.

Lihat selengkapnya