Gema dari pikiran terakhir Bima, "Ini bahkan ... bukan permulaan." menggantung di antara mereka, sebuah pernyataan singkat bagi realitas yang sedang sekarat. Mei-Mei menerima proyeksi itu bukan sebagai sebuah kalimat, melainkan sebagai sebuah gelombang kejut psikis. Seluruh ketenangannya yang baru saja ia tempa, semua fokusnya yang tajam pada balas dendam, hancur berkeping-keping. Ia kini dihadapkan pada sebuah musuh yang jauh lebih mengerikan daripada preman atau dalang manapun, sebuah kebenaran bahwa penjara mereka jauh lebih luas dan lebih aneh dari yang pernah mereka bayangkan.
Sebuah pekikan panik tanpa suara terpancar dari esensinya, sebuah pertanyaan putus asa yang ditujukan pada Bima. "Apa maksudmu?!" Namun, Bima tidak sempat menjawab. Dunia di sekitar mereka mulai larut.
Keruntuhan itu tidak terjadi seperti sebuah ledakan, melainkan seperti sebuah pembatalan yang sistematis. Dimulai dari tanah, halaman rumput yang tadinya terawat sempurna di kompleks perumahan itu kehilangan teksturnya, warnanya memudar dari hijau menjadi abu-abu, lalu pecah menjadi jutaan piksel statis seperti layar televisi yang kehilangan sinyal. Jalanan aspal di bawah mereka retak, namun dari retakan itu tidak terlihat tanah, melainkan sebuah kehampaan putih yang menyilaukan, yang dengan rakus mulai menyedot sisa-sisa dari lanskap palsu itu.
Rumah-rumah mewah di sekeliling mereka kehilangan sifat tiga dimensinya, menjadi datar seperti potongan-potongan kardus yang ditempelkan di cakrawala. Lalu, satu per satu, bangunan-bangunan itu mulai berkedip, menjadi transparan, sebelum akhirnya lenyap sama sekali, meninggalkan kekosongan di tempat di mana mereka tadinya berdiri. Satpam yang membeku di posnya menguap menjadi debu cahaya.
Bima dan Mei-Mei hanya bisa melayang, dua orang penonton yang terpaku menyaksikan panggung teater mereka dibongkar oleh kru yang tak terlihat. Mereka menengadah. Langit malam yang tadinya membentang di atas mereka kini tampak seperti sebuah kubah raksasa yang dicat. Retakan-retakan cahaya mulai muncul di permukaannya, seperti kaca yang akan pecah. Dengan sebuah suara gemuruh sunyi yang menggetarkan jiwa, kubah langit palsu itu hancur berkeping-keping. Fragmen-fragmen kegelapan yang dihiasi bintang-bintang statis jatuh ke bawah, namun kepingan itu larut menjadi ketiadaan bahkan sebelum menyentuh mereka.
Di balik langit yang hancur itu, terungkaplah realitas yang sesungguhnya, sebuah ketiadaan. Sebuah warna putih yang absolut, tak berujung, dan tak memiliki dimensi.
Kehampaan putih itu bukan hanya sebuah ruang kosong, ia adalah sebuah entitas aktif yang mulai merayap naik, menelan sisa-sisa terakhir dari dunia mereka. Bima merasakan esensinya ditarik, diurai. Ia menatap Mei-Mei dan melihat aura merah di sekeliling gadis itu memudar dengan cepat, seperti cat air yang disiram pemutih. Jaket kuning di tubuhnya sendiri, simbol terakhir dari dunianya yang penuh warna, juga mulai kehilangan saturasinya, berubah menjadi kuning pucat, lalu putih gading, sebelum akhirnya menyatu dengan keputihan yang melingkupinya.
Koneksi telepatis mereka mulai dipenuhi oleh suara statis yang berderak. Pikiran-pikiran mereka menjadi sulit untuk dibentuk.
"Bim ... Bim ... Aku ..." pikiran Mei-Mei terputus-putus, sarat dengan teror.