Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #31

Kitab Kenangan yang Kosong

Pertanyaan terakhir Mei-Mei, "Siapa yang menulis buku ini?" menggantung di udara yang hampa dan steril di dalam kantin abadi itu. Pertanyaan itu mengubah segalanya. Mereka bukan lagi sekadar arwah yang terperangkap; mereka adalah pembaca, atau mungkin karakter, dalam sebuah narasi yang tidak mereka pahami. Ketakutan mereka yang tadinya kacau kini memiliki sebuah fokus: buku tua bersampul kulit yang tergeletak diam di atas meja favorit mereka.

Mereka mendekatinya dengan sangat hati-hati, dua arwah yang bergerak tanpa suara di dalam diorama kenangan mereka sendiri. Gerakan mereka sinkron, lahir dari pemahaman baru bahwa satu-satunya hal yang nyata di dunia aneh ini adalah keberadaan satu sama lain. Buku itu sendiri tampak begitu solid, begitu nyata di tengah lingkungan yang terasa seperti proyeksi. Sampul kulitnya yang berwarna cokelat tua tampak usang, dengan retakan-retakan halus di permukaannya, seolah telah melewati berabad-abad. Tidak ada judul, tidak ada nama penulis, tidak ada simbol apapun yang terukir di atasnya. Ia adalah sebuah enigma yang bisu.

"Hati-hati, Bim," ujar Mei-Mei, nadanya adalah campuran antara kewaspadaan seorang psikolog yang menghadapi variabel tak dikenal dan rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ini bisa jadi jebakan. Sebuah tes."

Bima merasakan hal yang berbeda. Sebagai seorang pencinta sastra, ia merasakan tarikan yang hampir tak tertahankan pada buku itu. Ia tidak merasakan aura jahat darinya. Sebaliknya, ia merasakan sebuah potensi yang luar biasa, seperti perasaan yang ia dapatkan saat berdiri di depan rak-rak perpustakaan yang penuh dengan cerita-cerita yang belum pernah ia baca. Ia merasakan gema dari ribuan kata yang belum tertulis.

"Apapun ini," balas Bima, "ini adalah satu-satunya hal yang baru di tempat ini. Satu-satunya petunjuk. Kita harus membukanya."

Setelah hening sejenak, Mei-Mei mengangguk. Dengan gerakan yang terasa begitu seremonial, Bima mengulurkan tangan tak kasat matanya. Saat ujung jemarinya yang tak padat menyentuh permukaan sampul kulit itu, ia merasakan sebuah sengatan. Bukan sengatan listrik, melainkan sengatan informasi, sebuah getaran dari kemungkinan yang tak terbatas. Dengan dorongan mental yang lembut, sampul buku yang berat itu terbuka dengan suara derit pelan yang bergema di dalam keheningan kantin.

Mereka menatap halaman pertama. Dan kekecewaan yang mereka rasakan begitu mendalam hingga nyaris lucu.

Halaman itu kosong.

Bukan kosong seperti kertas bekas yang telah dihapus. Ini adalah sebuah kekosongan yang sempurna. Kertasnya tebal, warnanya putih gading, permukaannya halus tanpa noda sedikit pun. Mereka membalik ke halaman berikutnya, kosong. Halaman berikutnya, kosong juga. Dengan gerakan yang semakin cepat dan panik, mereka membalik seluruh isi buku itu. Ratusan halaman, semuanya kosong melompong.

"Sebuah buku kosong?" pikiran Mei-Mei terdengar frustrasi. "Apa artinya ini? Sebuah lelucon?"

Bima merasakan kekecewaan yang lebih dalam. Ia, sang pencinta cerita, kini dihadapkan pada sebuah kitab agung yang tidak berisi apa-apa. Ini terasa seperti sebuah penghinaan pamungkas. Mereka mencoba berinteraksi dengannya. Bima mencoba memfokuskan pikirannya, memproyeksikan baris pertama dari puisi Chairil Anwar favoritnya ke arah halaman itu, berharap kata-kata itu akan muncul. Tidak terjadi apa-apa. Mei-Mei mencoba menganalisisnya, mencari jejak energi atau tujuan tersembunyi. Yang ia temukan hanyalah kekosongan yang murni.

Buku itu adalah sebuah teka-teki yang tak terpecahkan, sebuah wadah cerita yang menolak untuk bercerita. Frustrasi Bima saat menatap halaman-halaman kosong yang tak berarti itu terasa begitu kontras dengan sebuah kenangan di masa lalu, saat ia dan Mei-Mei juga menatap sebuah buku kosong, namun dengan perasaan yang sama sekali berbeda.

Lihat selengkapnya