Keberhasilan mereka menuliskan nama "Meilani Wijaya" dan menyaksikan kumpulan kenangan yang dipicunya meninggalkan jejak yang dalam. Di satu sisi, ada kehangatan dari menghidupkan kembali momen-momen indah itu. Di sisi lain, ada kengerian dari ingatan yang rusak di bagian akhirnya. Mereka kini tahu bahwa buku ini adalah sebuah proyektor, namun sepertinya beberapa rol filmnya telah tergores atau terbakar.
Mereka berdiri di hadapan halaman ketiga yang masih kosong. Keheningan di antara mereka sarat dengan keraguan dan antisipasi.
"Ini akan berbeda," pikir Bima terproyeksi, lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Mei-Mei. "Melihat diriku sendiri dari matamu ... rasanya aneh."
"Mungkin inilah satu-satunya cara," balas Mei-Mei, nadanya kembali menjadi seorang peneliti yang fokus. "Hipotesisku adalah: ingatanmu tentang tragedi itu korup karena trauma kematianmu. Mungkin, ingatanku, meskipun juga traumatis, memiliki kejernihan di titik-titik yang berbeda. Dengan melihatnya dari sudut pandangku, kita mungkin bisa melihat wajah preman itu dengan jelas."
Logikanya masuk akal. Bima merasakan secercah harapan. Mungkin mereka akan menemukan petunjuk baru. Mungkin mereka akan mengerti mengapa realitas mereka yang lama memiliki begitu banyak retakan.
"Aku takut," aku Mei-Mei tiba-tiba, sebuah kalimat yang begitu lirih dan rapuh hingga nyaris tak terasa. "Aku takut dengan apa yang akan aku ingat."
"Aku di sini," balas Bima, memproyeksikan perasaan tenang dan protektif yang pernah ia rasakan saat badai petir di kamar kosnya. "Kita lihat bersama."
Dengan pemahaman itu, mereka kembali menyatukan kesadaran mereka di atas halaman kosong. Kali ini, peran mereka terbalik.
Mei-Mei memejamkan matanya, menyelam ke dalam lautan kenangannya tentang Bima. Ia tidak memikirkan sang Pocong, melainkan sang pemuda. Ia mengingat senyumnya yang sedikit kikuk namun begitu tulus. Ia mengingat matanya yang selalu berbinar saat berbicara tentang buku. Ia mengingat suaranya yang terdengar begitu dramatis saat mendeklamasikan puisi, namun begitu lembut saat membisikkan kata-kata penenang. Ia memproyeksikan citra sang matahari kecilnya, sumber kehangatan dan optimismenya.
Bima, di sisi lain, harus fokus pada dirinya sendiri. Sebuah tugas yang aneh bagi sebuah jiwa yang telah kehilangan segalanya. Ia mencoba mengingat siapa dirinya sebelum menjadi ini. Bima Adiputra, mahasiswa Sastra, seorang pemimpi, seorang kekasih. Ia mengumpulkan sisa-sisa dari identitasnya yang fana.
Saat niat Mei-Mei yang penuh cinta dan niat Bima yang penuh perenungan itu bertemu di atas halaman kosong, huruf-huruf kembali terbentuk, kali ini dalam gaya tulisan tangan Bima yang sedikit miring dan artistik.
Bima Adiputra