Keheningan yang mengikuti hipotesis Bima terasa lebih pekat dan lebih dingin daripada kehampaan putih di luar kantin. "Mungkin itu adalah sebuah rekaman," kata-kata itu bergema di benak Mei-Mei, bukan hanya sebagai sebuah ide, tapi sebagai sebuah pelanggaran terhadap semua yang ia ketahui tentang kesadaran, memori, dan jiwa.
Sebagai seorang psikolog, ia memahami memori sebagai sesuatu yang subjektif, cair, dan personal. Sebuah kenangan bisa berubah, memudar, atau diperindah oleh emosi. Namun, konsep sebuah "rekaman", sebuah data objektif yang rusak dan diputar ulang adalah sesuatu yang berasal dari dunia mesin, bukan dunia manusia. Itu adalah sebuah konsep yang menakutkan karena ia meniadakan kehendak bebas mereka.
"Itu enggak mungkin, Bim," kata Mei-Mei, dengan sebuah penolakan yang lahir dari keterkejutan seorang ilmuwan yang dihadapkan pada data yang menentang hukum alam. "Kesadaran enggak bekerja seperti itu. Ingatan kita yang rusak di titik yang sama pasti hanya sebuah kebetulan yang luar biasa aneh. Sebuah anomali."
"Berapa banyak anomali lagi yang kita butuhkan, Mei?" balas Bima, suaranya yang biasanya lembut kini memiliki ketajaman dari sebuah keyakinan yang mengerikan. Ia mulai memaparkan buktinya, seperti seorang jaksa yang membacakan dakwaan. "Penjual nasi goreng yang sama di dua tempat berbeda. Satpam yang berpatroli dalam putaran ulang yang sempurna. Dan sekarang, ingatan kita yang rusak dengan pola yang identik. Ini bukan lagi anomali. Ini adalah sebuah pola. Ini adalah aturan dari tempat ini."
Ia berhenti sejenak, membiarkan logikanya meresap. "Logika kita dari dunia nyata sudah enggak berlaku di sini, Mei. Kita harus berhenti mencoba memasukkan data baru ke dalam teori lama kita. Kita harus membuat teori baru berdasarkan data yang kita miliki. Dan data yang kita miliki menunjukkan bahwa kita terjebak di dalam sebuah pengulangan."
Mei-Mei terdiam. Ia membenci ini, namun ia tidak bisa membantah bukti yang ada. Sebagai seorang ilmuwan, ia tidak boleh membiarkan keyakinan pribadinya menghalangi data observasi. Dan Bima benar. Polanya terlalu jelas untuk diabaikan. Ketakutannya perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lain: sebuah rasa ingin tahu yang analitis dan dingin. Jika ini memang sebuah penjara, sebuah simulasi, maka seperti semua sistem, ia pasti memiliki aturan dan batas.
"Baiklah," pikir Mei-Mei akhirnya terkirim, nadanya kini telah berubah menjadi seorang peneliti yang siap untuk memulai sebuah eksperimen. "Jika hipotesismu benar, dan ini adalah sebuah sistem tertutup ... maka kita harus mencari di mana dinding-dindingnya."
Eksperimen pertama mereka dimulai dengan lingkungan terdekat mereka: kantin itu sendiri. Apakah tempat ini nyata, atau hanya sebuah set panggung yang statis?
Mei-Mei fokus pada salah satu poster pementasan teater usang yang tertempel di dinding, sebuah poster yang ia ingat dengan jelas dari masa lalu. Ia mencoba mengerahkan seluruh kehendaknya untuk mengubah gambar di poster itu, untuk menggantinya dengan gambaran lain dari ingatannya. Tidak terjadi apa-apa. Poster itu tetap diam, warnanya tetap pudar, sebuah bagian permanen dari diorama ini.
Bima mencoba hal lain. Ia mendekati sebuah meja di mana tumpukan buku-buku sastra tergeletak, persis seperti yang sering ia tinggalkan dulu. Ia mencoba untuk menyentuh salah satu buku, untuk mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Namun, tangannya yang tak kasat mata hanya menembus ilusi buku itu tanpa efek apapun. Ia bahkan tidak bisa berinteraksi dengan kenangannya sendiri. Objek-objek di kantin ini hanyalah properti panggung yang dipaku mati.
Kesimpulan pertama mereka adalah lingkungan di dalam memori ini bersifat statis dan tidak bisa diubah.