Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #36

Sang Penenun Takdir

Keheningan yang mengikuti penemuan mereka di dalam kitab kenangan adalah keheningan yang paling mengerikan dari semuanya. Itu adalah keheningan yang lahir dari sebuah realisasi yang meruntuhkan seluruh fondasi realitas mereka. Wajah Ki Ageng Rahsa, sang dukun sakti, yang muncul sesaat di dalam ingatan mereka yang rusak, bukanlah sekadar celah dan retakan. Itu adalah sebuah tanda tangan seorang editor yang dengan sengaja telah mengubah naskah cerita mereka.

Mereka melayang di dalam kantin tak kasat mata itu, dua arwah yang kini merasa lebih tersesat daripada saat pertama kali mereka terbangun. Semua yang telah mereka lalui, perburuan Si Jangkung, pengepungan psikologis terhadap Si Kumis, konfrontasi dengan Rahmat, bahkan pertemuan dengan sang Datuk, semuanya kini terasa seperti sebuah sandiwara yang telah diatur. Sebuah subplot yang dirancang dengan cerdik untuk membuat mereka sibuk, untuk mengalihkan perhatian mereka dari kebenaran yang sesungguhnya.

"Ini bukan penjara biasa, Bim," ujar Mei-Mei, getaran suaranya sarat dengan kengerian dari seorang psikolog yang menyadari bahwa ia bukan hanya subjek eksperimen, tapi juga bahwa hasil eksperimennya telah dimanipulasi sejak awal. "Ini adalah sebuah narasi yang dikendalikan. Seseorang tidak ingin kita melihat perannya. Ki Ageng ... dia bukan sekadar pelindung Rahmat."

Bima melanjutkan alur pemikiran itu, kini dengan perspektif seorang kritikus sastra yang baru saja menemukan lubang plot raksasa dalam cerita hidupnya. "Dia bukan hanya penjaga gerbang," balas Bima. "Dia adalah salah satu penulisnya. Atau mungkin ... editornya. Dia memotong adegan yang paling penting, adegan yang menunjukkan keterlibatannya sendiri."

Implikasinya begitu luas hingga nyaris melumpuhkan mereka. Jika Ki Ageng terlibat sejak awal, itu berarti Rahmat mungkin bukanlah kepala ularnya. Ia mungkin hanyalah bidak lain yang lebih besar. Dan sang Datuk ... apakah nasihatnya tulus, atau ia juga bagian dari konspirasi ini, memberikan mereka petunjuk yang pada akhirnya hanya akan membawa mereka berputar-putar di dalam labirin yang sama? Mereka tidak bisa lagi mempercayai ingatan mereka sendiri, apalagi ingatan dari arwah lain.

Di tengah lautan paranoia dan ketidakpastian ini, satu hal menjadi sangat jelas. Musuh mereka yang sebenarnya, target mereka yang sesungguhnya, bukanlah lagi Rahmat Sulaiman. Musuh mereka adalah sang penenun takdir mereka sendiri, sang editor dari rekaman kematian mereka, Ki Ageng Rahsa.

"Kita harus kembali menemuinya," ujar Mei-Mei terdengar tegas, rasa takutnya kini telah berubah menjadi amarah yang dingin dan terfokus. "Tapi kali ini, kita tidak datang untuk meminta petunjuk atau untuk menggoyahkan imannya. Kita datang untuk menuduhnya."

Bima setuju. Pertarungan mereka berikutnya bukanlah pertarungan kekuatan atau keyakinan. Ini adalah pertarungan kebenaran. Mereka akan mengkonfrontasi sang editor dengan bukti dari suntingannya yang ceroboh. Perasaan akan menghadapi seseorang yang telah berbohong dan menyembunyikan kebenaran ini terasa begitu akrab, mengingatkan Bima pada sebuah insiden yang lebih kecil, namun sama-sama menjijikkan, dari masa kuliahnya.

Keheningan di dalam ruang ujian begitu tegang, hanya dipecah oleh suara gesekan pulpen di atas kertas dan detak jam di dinding. Bima sedang berjuang dengan soal esai terakhirnya saat pandangannya tanpa sengaja menyapu ke seberang ruangan.

Di sanalah ia melihatnya. Doni, salah satu mahasiswa paling populer dan karismatik di angkatan mereka, yang selalu tampak begitu pintar dan percaya diri, sedang melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan. Dengan gerakan yang sangat halus dan terlatih, ia sedikit menurunkan tasnya yang diletakkan di lantai, dan dari celah ritsleting yang sedikit terbuka, ia melirik selembar kertas kecil yang penuh dengan tulisan tangan. Sebuah contekan.

Bima tertegun. Pemandangan itu begitu kontras dengan citra publik Doni hingga terasa sangat tak masuk akal. Setelah ujian selesai, Bima merasa gelisah. Ia menceritakan apa yang ia lihat pada Mei-Mei saat mereka berjalan pulang.

Mei-Mei tidak terkejut. Ia hanya menghela napas. "Aku sudah menduganya," katanya pelan.

Lihat selengkapnya