Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #37

Pengakuan Sang Proyeksionis

Pertanyaan terakhir Bima dan Mei-Mei bukanlah sebuah serangan, melainkan sebuah skakmat. "Bagaimana kalian bisa melihat itu?" Gema dari pertanyaan panik sang dukun menggantung di udara pekat di sekeliling rumah joglo itu, sebuah pengakuan tak terbantahkan atas keterlibatannya.

Ki Ageng Rahsa menatap mereka, ketenangannya yang seperti danau kini telah menjadi riak-riak kegelisahan. Wajahnya yang tua dan penuh keriput tidak lagi memancarkan kebijaksanaan kuno, melainkan kelelahan yang luar biasa. Perisai emasnya telah lenyap, meninggalkannya terekspos di hadapan dua arwah yang kini menatapnya bukan lagi dengan amarah, melainkan dengan tuntutan dingin akan sebuah kebenaran. Ia tahu, permainan telah usai. Kebohongannya telah terbongkar.

"Kalian gigih," suara sang dukun bergema, kali ini tanpa nada superioritas, hanya sebuah pengakuan yang lelah. "Lebih gigih dari yang pernah kuduga."

"Kami tidak hanya melihatnya," kata Mei-Mei memotong dengan tajam. "Kami tahu. Kau ada di sana pada hari itu. Kau bukan sekadar pelindung yang disewa setelah kejadian. Kau adalah bagian dari konspirasi itu. JELASKAN!"

Kata terakhir itu menghantam Ki Ageng seperti sebuah pukulan fisik. Ia menghela napas, sebuah gestur yang sarat dengan beban dari rahasia yang telah ia simpan. Ia menatap Bima, lalu Mei-Mei, dan untuk pertama kalinya, ada sorot kasihan di matanya yang kuno.

"Kalian tidak akan mengerti," katanya pelan.

"Buat kami mengerti," balas Bima dengan tegas.

Sang dukun terdiam sejenak, seolah menimbang kata-katanya. "Untuk mengerti, kalian harus terlebih dahulu memahami di mana kalian berada. Tempat ini ... ini bukanlah alam baka seperti yang kalian kira. Ini bukan akhirat, bukan pula alam arwah penasaran biasa."

Ia melanjutkan, dan setiap katanya mulai meruntuhkan fondasi realitas Bima dan Mei-Mei. "Tempat ini adalah sebuah 'Ruang Gema'. Sebuah dimensi saku yang tercipta dan ditopang oleh sebuah kesadaran tunggal yang mengalami trauma luar biasa. Sebuah penjara yang dibangun dari ingatan dan emosi."

Bima dan Mei-Mei saling menatap, mencoba mencerna informasi yang mustahil itu.

"Kesadaran itu," kata Ki Ageng, matanya kini tertuju sepenuhnya pada Mei-Mei, "adalah milikmu, Nak Gadis."

Mei-Mei tersentak ke belakang, seolah tertampar.

Lihat selengkapnya