Nama itu terasa berat, bahkan di alam gaib. Kolonel Haryo Wicaksono. Bukan sekadar nama, melainkan sebuah gelar yang sarat dengan kekuasaan, bebas dari hukuman, dan bayangan-bayangan kelam dari sebuah rezim.
Bima dan Mei-Mei meninggalkan rumah joglo Ki Ageng Rahsa dengan perasaan yang campur aduk antara kejelasan dan gentar. Mereka telah menemukan puncak dari piramida kejahatan yang telah menghancurkan mereka, namun puncak itu berada begitu tinggi, nyaris tak terjangkau.
Kini mereka mengerti. Seluruh perjalanan mereka selama ini, menghabisi Si Jangkung dan Si Kumis, bahkan menjatuhkan Rahmat hanyalah membersihkan jejak-jejak dari kejahatan satu orang ini. Mereka hanyalah dua petugas kebersihan gaib yang menyapu kekacauan yang ditinggalkan oleh seorang monster yang duduk nyaman di singgasananya.
Investigasi mereka dimulai kembali, namun dengan fokus yang setajam laser. Mereka tidak lagi mencari preman di gang-gang sempit. Mereka kini menjadi mata-mata yang menyusup ke dalam arsip-arsip negara yang paling dijaga. Mereka melayang menembus dinding-dinding perpustakaan nasional dan markas-markas militer, membaca dokumen-dokumen tua, laporan-laporan intelijen yang telah usang, dan artikel-artikel surat kabar dari masa lalu yang menguning.
Dari kepingan-kepingan informasi itu, mereka menyusun sebuah profil yang mengerikan. Di mata publik, Kolonel Haryo Wicaksono adalah seorang pahlawan. Bintangnya cemerlang, karirnya dihiasi oleh berbagai medali dari operasi-operasi militer di daerah konflik. Ia dikenal sebagai perwira yang tegas, efisien, dan seorang patriot sejati yang setia pada negara. Fotonya yang berwibawa sesekali muncul di koran, selalu dengan tatapan mata yang tajam dan senyum tipis yang penuh percaya diri.
Namun, di antara baris-baris laporan yang disensor dan di dalam kesaksian-kesaksian yang terkubur, Bima dan Mei-Mei melihat cerita yang berbeda. Mereka melihat pola kekejaman yang sistematis, sebuah kecenderungan untuk menggunakan kekuatan berlebihan, dan sebuah ambisi yang dingin dan tak mengenal batas. Ia adalah seorang monster yang berhasil membungkus dirinya dengan bendera kebangsaan.
Haryo Wicaksono hanyalah seorang oknum.
Mereka akhirnya melacak keberadaannya. Ia tidak tinggal di sebuah rumah mewah yang mencolok seperti Rahmat. Ia menempati sebuah rumah dinas yang tampak sederhana namun sangat aman di dalam sebuah kompleks perwira tinggi, sebuah tempat yang bahkan dalam wujud arwah pun terasa mengintimidasi untuk didekati.
Meskipun Ki Ageng Rahsa telah berjanji untuk tidak lagi aktif menghalangi mereka, Bima dan Mei-Mei tahu bahwa sisa-sisa dari perisai gaib itu mungkin masih ada. Mereka harus menguji air sebelum menyelam sepenuhnya. Malam itu, mereka mendekati kediaman Kolonel Haryo. Benar saja, perisai keemasan itu masih ada, namun kini ia lemah, berkedip-kedip seperti lampu neon yang sekarat, penuh dengan retakan dan lubang setelah iman sang perapal telah digoyahkan. Dengan sedikit usaha yang menyakitkan, mereka berhasil menyelinap masuk melalui salah satu celah.
Mereka berada di dalam sarang sang naga. Rumah itu, tidak seperti milik Rahmat yang pamer kemewahan, justru terasa dingin, fungsional, dan tanpa kepribadian. Perabotannya mahal namun kaku. Dindingnya dihiasi bukan oleh karya seni, melainkan oleh peta-peta militer dan foto-foto Haryo bersama para petinggi lainnya. Ini bukan rumah, ini adalah sebuah markas komando.
Mereka menemukannya di ruang kerjanya. Kolonel Haryo Wicaksono duduk di belakang sebuah meja kayu jati yang besar dan bersih, sedang menelaah setumpuk dokumen di bawah cahaya lampu baca. Ia tampak persis seperti di foto-fotonya, tenang, dingin, dan memegang kendali penuh. Tidak ada tanda-tanda paranoia seperti Si Kumis, tidak ada arogansi berlebihan seperti Rahmat. Yang ada hanyalah aura kekuasaan yang absolut dan dingin.
Dengan sebuah kesepakatan tanpa kata, Bima dan Mei-Mei memutuskan untuk menampakkan diri. Mereka akan menggunakan senjata pamungkas mereka, teror kejutan.