Kekalahan itu terasa dingin dan absolut. Terlempar keluar dari kediaman Kolonel Haryo oleh kekuatan gaib yang diperintahkan melalui telepon adalah sebuah penghinaan yang menyadarkan. Bima dan Mei-Mei berkumpul kembali di atas atap gedung yang telah menjadi saksi bisu perjalanan mereka, esensi mereka masih bergetar hebat dari serangan balasan Ki Ageng Rahsa. Mereka kini tahu bahwa musuh mereka tidak hanya kuat, tapi juga efisien dengan cara yang mengerikan.
Mereka melayang dalam keheningan yang berat, memproses pelajaran pahit yang baru saja mereka terima.
"Dia mengendalikannya seperti anjing peliharaan," ujar Bima, sarat dengan rasa muak.
"Bukan," koreksi Mei-Mei, nadanya tajam dan analitis, bahkan di tengah kekalahan. "Ki Ageng bukan seekor anjing. Dia lebih seperti seorang ksatria yang telah bersumpah setia pada raja yang salah. Goyahan iman yang kita sebabkan padanya ... Haryo berhasil menambalnya hanya dengan sebuah perintah langsung. Loyalitasnya pada Haryo ternyata lebih kuat daripada keyakinannya pada keseimbangan alam."
Bima mengerti. Ini adalah sebuah hubungan simbiosis yang kuat. Haryo memberikan Ki Ageng tujuan dan perlindungan di dunia fana, dan sebagai balasannya, Ki Ageng memberikan Haryo perlindungan absolut di dunia gaib. Selama keduanya terhubung, mereka nyaris tak terkalahkan. Menyerang salah satu hanya akan membuat yang lain memperkuat pertahanannya. Mereka terjebak dalam sebuah lingkaran setan.
"Kita enggak bisa melawan mereka satu per satu," pikir Mei-Mei, seolah membaca kesimpulan putus asa Bima. "Kita harus melawan mereka bersamaan, di dua tempat berbeda."
Sebuah ide yang gila, nekat, dan mungkin mustahil. Tapi di titik ini, hanya yang mustahil yang tersisa.
Perlahan, rencana terakhir mereka mulai terbentuk dari abu kekalahan mereka. Ini adalah sebuah strategi yang menuntut koordinasi sempurna, kepercayaan mutlak, dan pengorbanan seluruh sisa energi yang mereka miliki. Sebuah pertaruhan "semua atau tidak sama sekali".
Begini rencananya," ujar Mei-Mei terasa seperti seorang komandan yang sedang memberikan pengarahan sebelum pertempuran final. "Kita harus memisahkan kekuatan mereka. Kita harus memaksa Ki Ageng untuk memfokuskan seluruh kekuatannya pada satu titik, sehingga titik lainnya menjadi lemah."
Ia menoleh pada Bima. "Titik fokus itu adalah kamu, Bim-Bim."
Bima mengerti perannya. "Aku akan menjadi umpannya."