Malam itu terasa berat, seolah udara Jakarta sendiri menahan napas, menunggu. Bima melayang menuju kediaman Haryo Wicaksono, setiap gerakannya kini terasa disengaja dan penuh dengan beban misinya. Ia bukan lagi arwah yang tersesat; ia adalah sebuah umpan, sebuah pion yang dikorbankan dalam sebuah permainan catur gaib yang rumit. Perasaan ini, bergerak menuju sebuah konfrontasi yang tak terhindarkan, terasa begitu familier, sebuah gema dari malam lain yang penuh dengan semangat nekat.
Ia tiba di depan kompleks perumahan yang dijaga ketat itu. Perisai emas Ki Ageng Rahsa telah kembali aktif, menyelimuti rumah Haryo dalam sebuah kubah ketenangan yang menipu. Kali ini, Bima tidak mencoba menembusnya. Ia berhenti di luar batasannya, menjadi sebuah suar provokasi.
Bima memejamkan matanya, mengumpulkan semua kekuatan dari kesadarannya yang tersiksa. Ia tidak memanggil amarah atau duka. Ia memanggil satu ingatan spesifik yang paling ia tahu akan menjadi racun bagi ketenangan Ki Ageng dan Haryo, ingatan yang rusak itu, ingatan yang telah disensor.
Pocong Berjaket Kuning itu mulai memproyeksikannya. Bukan lagi sebagai sebuah pertanyaan, melainkan sebagai sebuah tuduhan. Gambaran gerbang universitas di pagi hari kerusuhan yang tegang itu ia lemparkan berulang-ulang ke permukaan perisai emas. Ia menyorotnya seperti sebuah proyektor film, memutar adegan di mana wajah Ki Ageng Rahsa yang lebih muda tampak jelas di antara para preman. KLIK. Adegan diputar ulang. KLIK. Adegan diputar ulang lagi. Sebuah gempuran psikis tanpa henti, sebuah pesan yang jelas, “Aku tahu. Aku melihatmu. Kebohonganmu telah terbongkar.”
Perisai emas itu mulai bergetar. Gempuran kebenaran yang mentah ini adalah sebuah anomali yang sulit ia proses. Ketenangan adalah fondasinya, dan Bima sedang menyerangnya dengan riak-riak realitas yang tak terbantahkan.
Di dalam rumahnya, Haryo, yang sedang menikmati segelas anggur di ruang kerjanya, merasakan getaran itu. Ia tidak merasakan teror, melainkan gangguan. Seperti suara dengungan nyamuk yang terus-menerus di telinganya. Ia berjalan ke jendela, dan meskipun ia tidak bisa melihat wujud Bima, ia bisa merasakan kehadiran yang mengganggu di luar perimeternya. Ia mengerutkan kening, kesal. Dengan tenang, ia mengangkat gagang telepon.
"Ki Ageng," katanya tanpa basa-basi. "Hantu itu kembali. Ia mengganggu perisainya. Perkuat pertahanannya. Lenyapkan dia jika perlu."
Bima merasakan gelombang energi keemasan yang dahsyat tiba-tiba memperkuat perisai di hadapannya. Kekuatannya kini begitu besar hingga mendorong esensi Bima ke belakang. Rasanya seperti melawan arus sungai yang deras. Ia harus mengerahkan seluruh kekuatannya hanya untuk bertahan, terus memproyeksikan ingatan terkutuk itu. Ia tahu rencananya berhasil. Ia telah berhasil menarik seluruh perhatian dan kekuatan sang dukun ke satu titik ini. Kini, semuanya bergantung pada Mei-Mei.
Di belahan lain kota, di depan rumah joglo yang sunyi, Mei-Mei merasakan pergeseran energi itu. Ia merasakan sebagian besar kekuatan Ki Ageng ditarik menjauh, seperti sebuah pasukan yang dikirimkan ke medan perang yang jauh, meninggalkan istananya nyaris tanpa pertahanan.