Keheningan yang mengikuti kemenangan mereka terasa begitu absolut hingga memekakkan telinga. Di rumah joglo yang sunyi, Mei-Mei melayang di atas tubuh Ki Ageng Rahsa yang tak sadarkan diri, aura merahnya perlahan-lahan mereda seperti api yang kehabisan bahan bakar. Jauh dari sana, Bima perlahan memulihkan esensinya yang nyaris buyar, sisa-sisa energi emas dari perisai yang hancur menguap di sekelilingnya.
Mereka terpisah secara fisik, namun terhubung dalam sebuah kemenangan yang senyap. Melalui ikatan gaib mereka, Bima merasakan kelelahan dan kelegaan dari Mei-Mei. Kuntilanak Merah itu merasakan tekad Bima yang kembali menguat. Tidak ada perayaan, tidak ada sorak sorai. Kemenangan ini hanyalah sebuah anak tangga yang telah berhasil mereka naiki. Masih ada satu anak tangga terakhir, yang paling tinggi dan paling curam.
Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Misi mereka berikutnya sudah jelas.
Dengan sebuah niat bersama, kesadaran mereka menyatu kembali. Bima, dari lokasinya di luar kompleks perumahan, mulai melayang menuju kediaman Haryo Wicaksono. Di saat yang sama, Mei-Mei meninggalkan rumah joglo yang kini sunyi senyap itu, melesat menembus malam untuk bergabung dengan Bima.
Mereka bertemu kembali di depan gerbang utama kediaman sang kolonel. Kali ini, tidak ada lagi perisai yang menghalangi mereka. Jalan masuk menuju jantung kegelapan kini terbuka lebar. Mereka tidak lagi menyelinap atau mengintai. Gerakan mereka kini dipenuhi oleh aura keagungan yang mengerikan, seperti dua malaikat maut yang berjalan tanpa tergesa-gesa untuk menjemput jiwa yang telah ditakdirkan.
Mereka menembus gerbang besi yang megah itu, melewati para satpam yang tiba-tiba merasakan hawa dingin yang membuat bulu kuduk mereka berdiri, namun tidak melihat apa-apa. Mereka melayang di atas halaman rumput yang terawat sempurna, menuju pintu utama rumah yang besar dan kokoh itu.
Rumah itu sunyi. Haryo pasti sudah tahu bahwa perisainya telah runtuh. Ia pasti sudah tahu bahwa penjaganya telah gagal. Ia menunggu.
Bima dan Mei-Mei tidak mengetuk. Mereka menembus pintu kayu jati yang tebal itu seperti dua hembusan angin dingin, dan menemukan diri mereka di dalam lobi utama yang mewah. Mereka tahu di mana harus menemukannya. Mereka mengikuti jejak aura kekuasaan yang dingin dan arogan itu menuju ruang kerjanya.
Saat mereka tiba di ambang pintu ruang kerja, mereka melihatnya. Haryo Wicaksono tidak sedang panik. Ia tidak sedang mencoba melarikan diri atau memanggil bantuan. Ia berdiri dengan tenang di belakang meja kerjanya yang masif, menuangkan segelas brendi untuk dirinya sendiri. Ia mengenakan jubah tidur dari sutra, tampak begitu santai, seolah ia hanya sedang menunggu tamu bisnis yang sedikit terlambat. Ia merasakan kehadiran mereka, dan dengan gerakan yang sangat pelan, ia berbalik.
Matanya yang tajam dan dingin menatap lurus ke arah di mana mereka melayang, meskipun ia belum bisa melihat wujud mereka sepenuhnya. Ia tahu mereka ada di sana.
"Jadi," katanya ke udara yang kosong, suaranya tenang dan sarat dengan nada meremehkan. "Anjing tua itu benar-benar sudah tidak berguna."