Fajar yang merekah di ufuk timur Jakarta belum pernah seindah ini. Bima dan Mei-Mei melayang diam di depan jendela yang pecah di ruang kerja Haryo, menyaksikan goresan-goresan pertama cahaya pagi melukis langit yang kelabu. Itu adalah pemandangan yang paling biasa sekaligus paling luar biasa. Selama keberadaan mereka sebagai arwah, malam telah menjadi satu-satunya sahabat mereka, kegelapan adalah selimut mereka. Melihat matahari terbit, merasakan kehangatan pertamanya yang lembut, adalah sebuah anugerah yang mereka kira tak akan pernah mereka rasakan lagi.
Di lantai di belakang mereka, terbaring sisa-sisa dari seorang lelaki yang pernah begitu berkuasa. Kolonel Haryo Wicaksono tidak lagi memancarkan aura kekuasaan atau kebencian. Ia hanyalah sebuah cangkang kosong, matanya yang terbuka lebar menatap kosong ke langit-langit, mulutnya menggumamkan kata-kata tak berarti tentang warna merah, kuning, dan rasa sakit. Pikirannya telah hancur, terkurung selamanya di dalam labirin dosa-dosanya sendiri. Para arwah lain yang tadi berkumpul sebagai juri telah lama pergi, gema kesedihan mereka memudar bersamaan dengan kegelapan, seolah menemukan secercah kedamaian dalam kejatuhan tiran mereka.
Api yang telah membakar jiwa Mei-Mei begitu lama akhirnya padam. Bima bisa merasakannya. Aura merah yang dahsyat di sekelilingnya telah surut total, meninggalkan sosok kuntilanak yang kini tampak begitu pucat, nyaris transparan. Wajahnya yang tadi selalu terpatri dalam amarah kini terlihat tenang, namun di dalam ketenangan itu ada sebuah kehampaan yang begitu luas, begitu tak berdasar. Ia telah hidup begitu lama dengan satu tujuan yaitu balas dendam, dan kini setelah tujuan itu tercapai, ia mendapati dirinya berdiri di puncak gunung tanpa tahu harus melangkah ke mana lagi.
Bima merasakan hal yang sama. Beban berat yang selama ini menekan esensinya, beban untuk mencari, untuk menyembuhkan, untuk membalas telah terangkat. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti pocong yang terikat atau arwah yang penasaran. Ia hanya merasa seperti Bima yang lelah dan kosong. Duka atas kehilangan mereka masih ada, sebuah lubang yang tak akan pernah bisa terisi, namun amarah yang membara yang menuntut pembalasan kini telah menjadi abu yang dingin.
Mereka telah melakukannya. Mereka telah menepati janji mereka dengan cara yang paling mengerikan, namun mereka berhasil. Keadilan, dalam versinya yang paling kelam, telah ditegakkan.
Mereka menunggu.
Dengan ketenangan yang baru mereka temukan, mereka menunggu langkah berikutnya dalam perjalanan abadi ini. Mereka menunggu pelepasan. Mereka menunggu cahaya di ujung terowongan, atau mungkin kegelapan total yang damai. Mereka menunggu transisi menuju alam apapun yang menanti jiwa-jiwa yang telah menyelesaikan urusannya di dunia. Mereka siap. Mereka telah lelah berperang.
Satu menit berlalu. Matahari semakin tinggi, cahayanya kini mulai terasa hangat di lantai ruangan. Lima menit. Suara burung-burung dari taman di luar mulai terdengar, sebuah koor pagi yang ceria. Sepuluh menit. Dari kejauhan, deru lalu lintas pagi Jakarta mulai terdengar, menandakan bahwa kota telah terbangun dan memulai siklus kehidupannya yang tak kenal lelah.
Dan Bima serta Mei-Mei masih di sana.
Tidak ada yang berubah. Wujud tak kasat mata mereka tetap solid. Kehadiran mereka di ruangan itu tetap nyata. Kedamaian yang mereka rasakan beberapa menit yang lalu mulai terkikis oleh sebuah perasaan aneh, sebuah kegelisahan yang mulai merayap kembali. Mengapa mereka masih di sini? Bukankah tugas mereka sudah selesai?
"Bim ...?" kata Mei-Mei, sebuah pertanyaan yang tak selesai, sarat dengan kebingungan.