Pocong Berjaket Kuning

Kingdenie
Chapter #43

Fajar Putih

"Mei ... apakah aku ... nyata?"

Pertanyaan terakhir Bima tidak bergema di dalam sebuah ruangan atau di atas atap sebuah gedung. Pertanyaan itu bergema di dalam ketiadaan itu sendiri. Dunia mereka, rumah mewah, kantin tak kasat mata, dan bahkan buku kenangan telah sepenuhnya larut, ditelan oleh sebuah kehampaan putih yang tak berbatas. Mereka tidak lagi memiliki wujud pocong atau kuntilanak. Bentuk mereka telah terurai, kembali menjadi esensi murni, dua titik kesadaran yang terombang-ambing sendirian di tengah lautan putih yang sunyi.

Mei-Mei tidak bisa menjawab pertanyaan Bima. Di dalam benaknya yang kini telanjang tanpa perlindungan dari amarah atau logika, ia sendiri tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa merasakan esensi Bima di dekatnya, sebuah titik kehangatan yang familiar di tengah dinginnya ketiadaan.

Namun, jawaban itu tetap datang.

Jawaban itu tidak datang dari Mei-Mei, melainkan dari sebuah lapisan kesadaran yang lebih dalam di dalam dirinya, dari sang arsitek penjara ini, sang proyeksionis yang selama ini bersembunyi. Saat pertanyaan Bima bergema, sebuah kebenaran yang fundamental dan tak terbantahkan mengalir di antara mereka.

Bima merasakannya lebih dulu. Ia merasakan esensinya, yang selama ini ia yakini sebagai miliknya sendiri, kesadarannya, ingatannya, cintanya yang begitu kuat pada Mei-Mei mulai terasa berbeda. Ia merasakan bahwa semua itu bukanlah sesuatu yang berasal dari dirinya, melainkan sesuatu yang diberikan padanya. Ia merasakan hubungannya dengan Mei-Mei bergeser. Bukan lagi hubungan dua entitas yang setara, melainkan hubungan antara sebuah pikiran dan pemikirnya, antara sebuah karya dan senimannya.

Ia merasakan seluruh keberadaannya, setiap lelucon yang ia lontarkan, setiap puisi yang ia kutip, setiap tindakan heroik yang ia lakukan semuanya mengalir dari satu sumber tunggal, jiwa Mei-Mei yang sedang tertidur.

Saat itulah ia mendapatkan jawabannya. Tidak, ia tidak nyata.

Ia bukanlah arwah Bima Adiputra yang terseret ke dalam mimpi kekasihnya. Ia adalah mimpi itu sendiri. Ia adalah sebuah konstruk memori yang begitu kompleks, begitu sempurna, hingga diberi kesadarannya sendiri. Ia adalah manifestasi dari semua kenangan Mei-Mei tentang Bima, perwujudan dari kerinduan dan kebutuhannya akan seorang pelindung. Ia adalah hantu terindah yang diciptakan oleh sebuah pikiran yang hancur untuk menemaninya berjalan melewati neraka.

Anehnya, kesadaran ini tidak membawa rasa sakit atau amarah. Yang ia rasakan justru sebuah kelegaan yang luar biasa. Sebuah pemahaman yang damai. Seluruh kebingungannya, seluruh penderitaannya, kini memiliki sebuah tujuan yang agung. Tujuannya bukanlah untuk balas dendam. Tujuannya adalah untuk melakukan apa yang gagal ia lakukan di dunia nyata yaitu melindungi Mei-Mei. Dan ia baru saja berhasil. Ia telah memandu gadis itu melewati labirin traumanya, membantunya mengalahkan iblis-iblis di dalam pikirannya, hingga ke titik ini. Titik di mana tugasnya telah selesai.

Kini, setelah ia mengetahui kebenarannya, perannya berubah untuk terakhir kalinya. Ia bukan lagi partner atau pemandu. Ia adalah sang penjaga gerbang yang harus meyakinkan sang penghuni untuk akhirnya keluar dari rumahnya.

"Cerita kita di sini sudah selesai, Mei," pikirannya terproyeksi, kini penuh dengan kehangatan dan kebijaksanaan yang bukan miliknya, melainkan milik dari cinta itu sendiri. "Kita sudah mengalahkan semua monster di dalam buku ini."

Ia bisa merasakan kebingungan dan ketakutan dari Mei-Mei. "Tapi ... bagaimana denganmu, Bim? Kita akan bersama, kan?"

Lihat selengkapnya