Pohon dan Matahari

Nuka Asrama
Chapter #1

Juniper: Harapan

Jakarta, 30 Desember 2010.

Namaku Juniper, teman-temanku biasa memanggilku Jun. Tapi aku tidak lahir di bulan Juni seperti kebanyakan orang-orang yang dipanggil Jun. Aku lahir di bulan Februari, bulan yang seharusnya menjadi bulan terakhir kalender Masehi. Namun gara-gara seorang raja Romawi yang bernama Numa Pompilius, Februari menjadi bulan kedua. Aku lebih suka Februari dijadikan bulan terakhir saja. Sepertinya menarik untuk melihat akhir tahun bisa terjadi pada tanggal 28 atau 29 Februari. Lagipula menjadi yang terakhir bukan berarti dunia akan berakhir, bukan?

Juniper, mungkin terdengar seperti Jennifer. Ya, orang-orang sering kali memanggilku Jennifer, dan sering kali pula aku mengoreksi kesalahan mereka. Namun lama-lama aku bosan juga. Biarlah mereka memanggilku apa saja. Setahuku, Juniper adalah nama sejenis pohon. Berasal dari genus Juniperus. Aku pernah membacanya. Katanya masih satu keluarga dengan pohon cemara, dari famili Cupressaceae. Pohon itu tumbuh tersebar di belahan bumi bagian utara, dari lingkaran Artik hingga Amerika Tengah. Sayangnya, hanya itu yang aku tahu.

Aku tak tahu pasti kenapa aku diberi nama Juniper. Apakah kedua orang tuaku penggemar pohon cemara? Entahlah. Mereka tak sempat memberitahuku, karena mereka meninggal ketika aku masih kecil. Katanya mereka meninggal karena kecelakaan. Aku tak tahu kecelakaan apa. Kecelakaan mobil? Kapal laut? Pesawat terbang? Pokoknya kecelakaan. Celaka yang tak pernah dijelaskan kepadaku. Sama halnya dengan nasib buruk, celaka mungkin memang tak perlu dijelaskan.

Aku tak ingat seperti apa wajah mereka. Tentu saja, aku masih berumur tiga tahun ketika mereka pergi. Mereka bahkan tak meninggalkan foto mereka untukku. Kenapa? Aku pun tak tahu. Aku ingin tahu seperti apa mereka. Apakah mereka orang baik? Aku tak pernah tahu pasti. Namun aku yakin mereka orang-orang yang baik. Katanya orang-orang baik lebih cepat dipanggil Tuhan. Apakah aku termasuk orang baik?

Aku dibesarkan oleh paman Yanus, adik dari ayahku. Ia punya istri bernama Hilda. Mereka yang selama ini berperan menjadi orang tuaku. Mereka punya seorang anak perempuan, namanya Agnes. Ia yang selama ini berperan menjadi adikku. Namun aku tak bisa mengatakan hidupku bahagia bersama mereka. Mungkin bagi mereka aku ini bukan siapa-siapa, seseorang yang entah datang dari mana. Tiba-tiba saja mengusik hidup mereka, memberikan beban tambahan ke keluarga mereka. Aku tak layak mendapatkan kasih sayang mereka seutuhnya. Menurutku wajar saja. Aku memang bukan anak kandung mereka. Mereka bukan orang tua kandungku, meski mereka masih keluargaku. Aku tak keberatan jika mereka lebih sayang kepada Agnes daripada aku. Aku tak keberatan dimarahi ketika aku berbuat salah, meski kesalahan kecil. Itu wajar. Aku masih tak keberatan aku yang kena marah ketika Agnes yang memecahkan piring dan gelas, mengotori lantai yang baru dipel. Aku tak keberatan Agnes mendapatkan bekal makan siang ayam goreng sedangkan aku hanya ikan asin. Aku tak keberatan Agnes mendapatkan uang jajan yang banyak, sedangkan aku harus berhemat selama seminggu hanya untuk membeli es krim. Namun demikianlah adanya. Kehidupan yang timpang membuatku sadar aku harus berusaha lebih keras untuk menyeimbangkannya. Bukankah memang begitu? Hanya kita sendiri yang bisa membuat diri kita semakin besar untuk mengimbangi beban yang semakin besar yang berada di sisi lain papan jungkat-jungkit. Aku sudah berusaha keras. Aku cukup bangga kepada diriku sendiri. Dan ketika aku punya kesempatan untuk pergi, aku pun memilih pergi. Kupikir tidak apa-apa. Karena pada dasarnya aku bukanlah siapa-siapa. Ada atau tidaknya aku, takkan berpengaruh. Aku sudah nyaman dengan hidupku sekarang, berada jauh dari mereka. Benarkah?

Sampai akhirnya Arlin meneleponku seminggu yang lalu. Ia memang suka menelepon sekadar menanyakan kabar dan basa basi lainnya. Namun alasan ia menelepon hari itu sedikit berbeda. Selain menanyakan kabar, ia mengundangku datang ke acara ulang tahunnya di Jakarta. Awalnya aku menolak. Sayangnya aku tak punya alasan yang kuat untuk menolak. Tidak bisa kugunakan alasan pekerjaanku. Aku tak bisa bohong kepadanya. Aku mendapatkan libur akhir tahun sampai tahun baru nanti. Dia sudah tahu itu. Dengan sedikit bujuk rayu, ia berhasil menaklukkan hatiku. Ia punya banyak jurus andalan. Bahwa kami sudah lama tak bertemulah, bahwa aku yang sudah lama tidak pulanglah, bahwa aku yang dibilang tidak setia kawanlah. Dengan alasan-alasan seperti itu ia berhasil membuatku kembali ke Jakarta. Ia terdengar sangat bersemangat, dan aku tidak ingin merusak semangatnya itu.

Baru saja taksi yang aku tumpangi masuk ke Bandara Ngurah Rai, ponselku langsung berdering nyaring. Aku sudah bisa menebak siapa yang menelepon.

“Juuun!” seru Arlin. Suaranya yang nyaring membuat telingaku berdenging. “Nanti aku jemput ya?”

“Nggak usah,” jawabku.

“Aku jemput pokoknya!”

“Dah dibilangin nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu. Pasti kamu lagi sibuk ‘kan sekarang?”

“Beneran nggak mau?”

“Iya. Beneran. Santai aja. Aku bisa naik taksi kok. Kalau nggak ada taksi aku bisa naik helikopter.”

Uh.”

“Tenang aja, aku nggak bakalan nyasar.”

“Masak bisa nyasar di rumah sendiri.”

Rumah. Jakarta mungkin adalah rumahku, rumah yang tak kurindukan lagi. Aku tak bisa menyangkalnya. Ketika seseorang yang baru kukenal bertanya dari mana aku berasal, aku suka dilanda keraguan. Apakah aku akan baik-baik saja menyangkal kota kelahiranku? Tempat aku bertumbuh? Tempatku memperoleh identitas anak ibu kota? Aku tidak bisa menyangkalnya. Maka kujawab saja sejujurnya. Meski dalam hati aku merasa sudah menemukan rumah yang baru.

“Iya, aku langsung meluncur ke sarang lebah,” ucapku.

Dia tergelak. Padahal dia tahu ucapanku itu bukanlah sebuah candaan. Sarang lebah, julukan yang kuberikan untuk rumah pamanku. Dia tahu ada kenyataan pahit di balik ucapanku itu. Bahwa aku sebenarnya tidak ingin kembali ke rumah itu. Aku benar-benar kembali ke sarang lebah, padahal aku hanyalah seekor lalat yang tak mampu menghasilkan madu.

“Tawaranku masih berlaku, Jun.”

Arlin memang sempat menawariku untuk menginap di rumahnya. Namun aku menolaknya.

No, thank you. Kembali ke Jakarta dan tak pulang ke rumah? Aku nggak ingin dianggap anak durhaka.”

“Ya, ya, baiklah kalau begitu.”

“Terima kasih ya, Lin.”

Lihat selengkapnya