Pohon dan Matahari

Nuka Asrama
Chapter #2

Juana: Waktu

Bali, 5 Februari 2014.

Kedai kopi ini terasa suram. Lampu-lampu yang tak menyala terang; dinding yang dicat abu-abu; meja dan kursi kayu berwarna gelap; dan pengunjung yang jumlahnya masih bisa dihitung jari. Meski begitu, aku menyukai tempat ini. Entah kenapa. Mungkin karena pikiranku sama suramnya. Mungkin juga tidak. Tempat ini tidak benar-benar suram. Mungkin karena pikiranku saja. Mungkin karena selalu ada dia di dalam pikiranku.

Tidak ada yang berubah dengan tempat ini, masih sama dalam ingatanku. Tentu saja demikian. Aku berkunjung ke tempat ini berkali-kali di waktu yang sama: menit yang sama, jam yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, tahun yang sama. Orang-orang yang datang berkunjung pun masih sama: seorang laki-laki berkumis tebal bersama istrinya, seorang gadis pendiam bersama temannya yang banyak bicara, seorang wanita yang sibuk sendirian dengan laptopnya, seorang pemuda bersama kekasihnya. Aku sudah mengamati gerak-gerik mereka berkali-kali.

Aku datang ke sini untuk menyendiri. Mungkin sedikit membaca buku. Kemudian duduk semalaman memikirkan perjalananku dari masa depan ke masa lalu, yang kemudian merangkak dari masa lalu ke masa depan. Kadang merasa perjalanan yang aku lakukan tidak ada artinya, tidak ada gunanya. Aku seperti aliran sungai yang tak punya tujuan. Aku tak mengalir ke laut, aku mengalir ke luar angkasa tak terbatas. Aku selalu bertanya untuk apa aku melakukan semua ini? Untuk hidup? Aku hanyalah budak waktu. Sang waktu selalu menuntutku melakukan apa yang ia mau. Jika waktunya telah tiba, aku akan berakhir pada ketiadaan, mati menjadi debu, lalu menyatu dengan semesta tak terbatas. Waktu memang kejam. Terutama kepadaku.

Waktu. Aku memang bisa kembali ke masa lalu. Namun bukan perjalanan waktu yang dilakukan dengan mesin waktu seperti di dalam film Back to the Future, atau menceburkan diri ke gerbang waktu lalu sampai ke zaman perang dunia kedua, atau terhisap ke dalam lubang hitam yang membuatku terdampar di zaman dinosaurus. Lebih tepatnya, aku adalah seorang karakter dalam film yang bisa memutar ulang filmnya sendiri, mengulangi lagi dari awal, yang kemudian bisa mengubah jalan ceritanya sesuai keinginanku. Aku sudah melakukannya berulang kali.

Aku mulai jenuh. Aku tak lagi mengalami yang namanya kejutan hidup. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi: siapa yang akan menjuarai piala dunia, siapa yang akan memenangkan pemilu, kapan terjadi resesi ekonomi, saham perusahaan mana yang akan meroket. Hidupku menjadi tidak seru lagi. Mungkin lebih tepat dikatakan tidak ada tujuannya. Untuk apa aku menjadi kaya raya jika pada akhirnya aku akan mengulangi dari awal lagi dan sudah tahu aku pasti akan kaya raya. Aku hanya berputar-putar di dalam lingkaran tak berujung. Kehampaan menyerangku seperti kapak yang membelah kepalaku. Tidak peduli apa pun pilihanku, apakah aku memilih untuk diam saja, atau bangkit dan bergerak maju, hasilnya sama saja. Kadang kehampaan menyiksaku sampai aku merasa diriku tidak pernah ada. Namun semua itu berubah ketika aku bertemu dengannya.

“Mau tambah lagi?” tanya seorang pelayan wanita yang menawariku air putih. Aku mengangguk saja. Gelasku dari tadi sudah kosong. Tidak ada salahnya mengisinya lagi. Meski aku tidak tahu pasti apakah aku masih haus atau tidak. Aku terlalu fokus pada pikiranku.

Dia menuangkan air ke dalam gelas. Air mengucur deras dari teko. Aku memperhatikannya. Air yang turun menciptakan gelembung-gelembung udara yang bergolak di dalam gelas. Kekacauan dituangkan ke dalam gelas. Lalu perlahan-lahan gelembung-gelembung udara itu naik ke permukaan. Lenyap, menyatu kembali dengan udara di atasnya. Kekacauan itu hilang, digantikan permukaan air yang tenang.

“Terima kasih,” ucapku.

“Ada tambahan lagi?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”

Selama berada di sini aku hanya memesan air putih. Bukan kopi. Padahal ini kedai kopi. Aku tak tahu apa yang pelayan itu pikirkan tentangku. Mungkin baginya aku adalah pengunjung aneh yang tak tahu diri. Datang ke kedai kopi, namun tak memesan kopi. Atau mungkin ia melihatku sebagai laki-laki miskin yang tak sanggup membeli secangkir kopi. Mungkin aku bukan keduanya. Aku datang ke sini karena suasananya, bukan karena kopinya.

Apakah aku harus seperti yang orang lain lakukan? Ketika seseorang ingin sesuatu, maka mereka akan datang ke tempat yang menyediakan apa yang mereka inginkan. Bukankah begitu selayaknya? Ketika seseorang kehausan, butuh minum, mereka akan datang ke tengah oase, bukan ke tengah laut. Hal yang sama ketika aku butuh kenangan, aku akan datang ke masa lalu.

“Sendirian?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk. Pertanyaan itu agak menggangguku. Pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Dia bisa melihatnya sendiri. Aku memang sendirian, datang sendirian, duduk sendirian, bicara pun sendirian. Itu sudah cukup untuk menegaskan aku butuh sendiri saat ini. Tapi tak mengapa. Pertanyaan itu sekadar basa-basi untuk seorang pelanggan yang tak tahu diri sepertiku. Ia mencoba mendekatkan dirinya dengan pelanggan, membuat pelanggan itu merasa berada di rumah, agar mereka datang lagi dan lagi. Dan itu berhasil. Atau mungkin ia memulai obrolan ini untuk mengusirku dengan halus.

“Apakah kau pernah datang ke sini sebelumnya?” tanya pelayan wanita itu.

“Tidak. Ini pertama kalinya,” jawabku.

Lihat selengkapnya