Jakarta, 31 Desember 2010.
Cerah. Satu kata yang cukup untuk menggambarkan suasana malam terakhir di tahun ini. Padahal aku berharap malam ini hujan turun dengan derasnya. Biarlah pestanya bubar. Oh, sungguh jahatnya pikiranku. Itu sama saja aku ingin menghancurkan pesta ulang tahun Arlin, dan mungkin pesta-pesta lain yang ada di luar sana. Tapi tak mengapa jika malam ini harapanku tidak dikabulkan.
Akhir tahun. Orang-orang di seluruh dunia menantikan pestanya, kemeriahannya. Namun tidak untukku. Tahun berakhir yang artinya hidupku lebih dekat menuju akhir. Sebelum aku mati mungkin aku bisa menikmati pestanya dengan cara yang berbeda. Aku bisa minum-minum sampai mabuk. Aku tak pernah melakukannya. Aku bisa berdansa sampai kedua kakiku patah. Aku juga belum pernah melakukannya. Aku bisa menikmati malam ini seperti seorang penggila pesta. Namun sayangnya aku bukanlah binatang pesta. Aku lebih suka berdiam diri di kamar atau berbaring di halaman belakang rumah sambil menyaksikan bintang-bintang. Ada pesta yang lebih meriah di atas sana. Mungkin sebuah ledakan supernova.
Aku memang tidak suka dengan pesta, apa pun bentuknya. Aku tak suka keramaian. Keramaian itu memekakkan telinga, menguras energi. Hiruk pikuk pesta membuatku merasa tak berdaya. Saat ini aku butuh ketenangan. Untuk apa? Bukankah ketenangan itu sudah lama hilang. Aku tak pernah berhenti memikirkan akhir dari kisahku. Siapa yang akan berada di sisiku sampai jam pasirku habis? Siapa yang akan menangis paling keras ketika tubuhku terbakar menjadi abu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin tak perlu kuketahui. Apakah orang yang sudah mati masih peduli dengan semua itu?
Khusus malam ini, biarkan saja pikiranku bebas dan lepas. Berhenti berpikiran yang macam-macam. Biarkan aku berubah menjadi orang lain, menjadi seorang penggila pesta. Biarkan Arlin terheran-heran dengan perubahanku. Dia akan senang melihatku gembira, ceria, bersemangat. Dia bangga kepada dirinya sendiri. Bahwa ia telah sukses mengubahku menjadi seperti dirinya. In your dream, Arlin!
Aku berdiri di depan rumah Arlin. Menatap rumahnya yang megah dan meriah. Bisa kudengar suara musik mengalun. Lalu suara orang-orang mengobrol dengan santai. Aku mendengarnya seperti dengungan kawanan lebah. Malam ini Arlin menjadi sang ratu lebah. Seperti biasa dia akan menggabungkan dua pesta menjadi satu. Pesta menyambut tahun baru sekaligus pesta ulang tahunnya yang ke-25. Iya, sahabatku itu lahir pada tanggal 31 Desember. Dia berujar dengan bangga, “Ulang tahunku selalu dirayakan setiap tahun oleh jutaan umat manusia di seluruh dunia.”
“Begitu juga orang-orang dulu yang tak tahu tanggal lahirnya,” kataku. Dia tidak terima disamakan dengan orang-orang sepuh yang tak tahu tanggal lahir, yang mencantumkan tanggal 31 Desember sebagai tanggal lahirnya di KTP. “Kenapa harus memilih tanggal itu jika masih ada 364 tanggal lainnya?” protes Arlin. Dia terlalu menganggapnya serius.
Aku masuk ke halaman depan. Sudah banyak tamu yang datang. Aku mengenal beberapa dari mereka. Mereka yang mengenalku melemparkan senyum, menjabat tanganku, lalu sekadar bas-basi menanyakan kabar. “Hei, Jun! Lama tak jumpa! Gimana kabarmu?”
“Baik,” jawabanku untuk semua pertanyaan semacam itu. “Gimana kabarmu?” tanyaku. Tentu saja pertanyaan seperti itu dijawab dengan baik. Hei, tentu kita baik-baik saja. Kita berada di tengah pesta, bukan?
Aku melihat sekeliling. Sebagian besar tamu tak kukenali. Memang lingkaran pertemananku hanya itu-itu saja orangnya: teman sekolah, teman kuliah, teman tempat aku bekerja dulu. Tidak seperti lingkaran pertemanan Arlin yang luas, bisa sampai alien yang ada di luar angkasa.
Aku juga tak habis pikir kenapa aku bisa berteman baik dengan Arlin. Kami bagaikan matahari dan bulan. Dia adalah matahari, dan aku adalah bulannya. Aku tak bisa bersinar seperti dirinya. Aku hanya mendapatkan sinar dari dirinya. Dia selalu ceria, bersemangat. Keceriaannya itu menular kepadaku. Dia yang selalu memberiku semangat ketika aku putus asa. Dia yang selalu membantuku berdiri ketika aku terjatuh. Dia yang selalu memelukku ketika aku bersedih.
Aku tak pernah melihatnya bersedih. Dia tak bersedih ketika mendapatkan nilai yang buruk di sekolah. Dia tak menangis ketika terjatuh dari sepeda. Dia tak bersedih ketika seorang laki-laki meninggalkannya. Dia hanya bersedih ketika hewan peliharaannya mati. Mungkin baginya nyawa adalah satu-satunya yang layak mendapatkan air mata. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dia ketika aku sudah tak ada.
Arlin adalah anak tunggal. Pertama kali aku bertemu dengannya ketika dia baru pindah ke kompleks perumahan ini. Waktu itu aku sedang bersepeda sendirian mengelilingi kompleks perumahan ini. Dia turun dari mobilnya. Aku yang berada di belakang mobilnya turun dari sepedaku. Dia memandangiku sambil tersenyum. Aku membalas dengan senyuman. Aku menuntun sepedaku ke arahnya.
“Ajari aku naik sepeda, dong,” pintanya kepadaku.
Aku mengiyakan saja, padahal aku juga baru bisa naik sepeda.
“Namaku Arlin. Nama kamu siapa?”
“Namaku Jun.”
“Hai, Jun.”
Pertemuan itu kemudian berlanjut keesokan harinya. Aku mengajarinya naik sepeda. Dia terjatuh beberapa kali, namun masih bisa tertawa. Lututnya lecet-lecet, namun dia masih saja tertawa. Aku heran ada orang seperti itu. Aku beberapa kali terjatuh, rasanya sakit. Aku meringis kesakitan. Entah dia sebenarnya menahan sakit atau memang tidak sakit. Aku menduga dia punya semacam ilmu kebal.
“Nggak sakit?” tanyaku.
“Sakit sih. Tapi nggak apa-apa. Entar juga hilang sakitnya,” jawabnya enteng.
Dia membuatku terheran-heran. Aku kagum kepadanya. Mungkin karena itu aku ingin menjadi seperti dirinya. Sejak saat itu kami semakin akrab. Kami selalu pergi ke sekolah bersama-sama. Pertemanan yang berlanjut sampai sekarang.
“Juuuuun!” sambut Arlin saat ia melihat kedatanganku. Ia berlari ke arahku, lalu memelukku erat. “Akhirnya dirimu datang juga. I miss you so much.”
“Selamat tahun baru dan selamat ulang tahun,” ucapku seraya menyerahkan kado untuknya.
“Thank you,” ucapnya lalu mengamati wajahku. “Kau tampak pucat. Kamu baik-baik saja, Jun?”
“Aku baik-baik saja. Mungkin sedikit kelelahan.”
“Okay. Ayo sini!” Dia menarik tanganku menuju ke tengah halaman. Di sana sudah menunggu sebuah kue ulang tahun di atas meja lengkap dengan lilin-lilinnya. Rex menyalakan lilin-lilin itu.
Kemudian semua orang mulai menyanyi. Aku tak ikut bernyanyi. Suaraku jelek. Aku bertepuk tangan saja. Aku berdiri di sampingnya ketika ia meniup lilin. Potongan kue pertama ia berikan kepadaku.
“Untuk sahabat terbaikku!” Ia berseru yang disertai tepuk tangan yang meriah. “Yang sudah jauh-jauh dari Bali datang ke sini khusus untuk hadir di hari ulang tahunku,” lanjutnya.
Sudah. Sudah. Tidak usah memujiku seperti itu. Aku jadi malu.
“Bukankah tadi itu menyenangkan?”
“Iya, sangat,” ucapku.
“Lihatlah baik-baik,” kata Arlin yang matanya memindai segala sudut halaman. Dia seakan mau memperlihatkan betapa meriahnya pesta ulang tahunnya. “Mungkin kau ada tertarik dengan salah satu cowok yang ada di sini. Aku bisa mengenalkannya kepadamu.”
Dia membuatku ingin tertawa saja. “Tidak. Terima kasih.”
“Come on, Jun.”
Salah satu hal yang menyebalkan dari Arlin adalah, dia tak pernah menyerah mencoba menjodohkanku. Dia pernah mengatur pertemuanku dengan seorang temannya. Kencan yang dipaksakan. Awalnya kutolak, namun bukan Arlin namanya jika tak berhasil mengubah jalan pikiranku. Tidak ada ruginya menuruti keinginannya. Aku bisa punya teman baru. Tidak ada salahnya punya teman baru. Aku janjian bertemu dengan temannya itu di sebuah kedai kopi. Kami mengobrol. Kupikir kami cukup nyambung. Dia banyak bercerita tentang kehidupannya. Aku pun begitu. Meski begitu, aku selalu merasa ragu. Akhirnya pertemuan itu tak berlanjut lagi. Arlin penasaran. Kenapa rencananya tak pernah berhasil. Dia memintaku untuk serius. Aku iyakan saja. Lalu dia akan mengoceh panjang lebar tentang kami yang bisa pergi wisata ke suatu tempat bareng-bareng bersama pasangan. Kencan ganda. Pasti akan menyenangkan katanya. Memang terdengar menyenangkan. Namun sekarang aku ragu semua itu bisa membuatku benar-benar bahagia.
Arlin sudah sangat mengenal seluk beluk dunia percintaanku yang tak ada manis-manisnya. Dia tahu laki-laki terakhir yang dekat denganku pergi meninggalkanku demi perempuan lain. Dia tahu aku sakit hati karenanya. Dia mencoba menghiburku. Aku tahu dia hanya ingin membantuku. Namun, usahanya sia-sia belaka. Buat apa? Aku tak punya masa depan untuk siapa pun.
“Saat ini aku hanya ingin sendiri,” kataku.
“Sampai kapan kamu mau sendiri?” tanyanya.
“Nggak tahu.”
“Selalu saja begitu.” Arlin tampaknya menyerah. Namun jika ada kesempatan, dia akan mencobanya lagi. Menyerah tidak pernah ada di dalam kamus hidupnya.
Bodoh. Tentu saja aku pernah memikirkan masa depanku. Bohong jika aku tak pernah membayangkan seseorang yang mau menerima keadaanku. Aku membayangkan dia menemaniku sampai malaikat maut menjemputku. Lalu aku tersadar, tidak akan kutemui orang seperti itu. Mana ada laki-laki yang mau jatuh cinta pada perempuan sekarat. Harapan yang mengada-ada, Lin. Kau tak tahu apa yang sedang aku hadapi.
“Kau lapar?” tanya Arlin.
“Kue itu sudah membuatku kenyang,” jawabku.
“Di kerongkongan saja nggak sampai,” kata Arlin. “Ayo!”
Dia mengajakku keliling melihat makanan yang ia siapkan. “Makan yang banyak. Kurus gitu.”
Dengan terpaksa aku menuruti perintahnya. Aku tak hanya butuh makan. Aku butuh nafsu makan. Aku mengambil secukupnya. Makan secukupnya.
“Yang banyak dong.”
Aku menolak. Aku mulai makan. Dia juga ikut makan. Cara makan kami berbeda. Dia makan banyak. Aku lebih suka melihat dia makan. Melihat dia makan, sudah bikin aku kenyang.
Kami sempat mengobrol sebentar sebelum dia diajak mengobrol oleh tamu-tamunya yang lain. Aku memilih menjauh dari keramaian. Aku sudah punya tempat terbaik untuk bersembunyi dari kegaduhan itu. Tempat yang selalu aku datangi di setiap pesta yang Arlin adakan, atau setiap kali aku berkunjung ke rumahnya. Aku menuju ke balkon yang ada di lantai dua. Balkon itu menghadap ke halaman belakang yang sepi. Aku menutup pintu kacanya agar tidak ada suara yang masuk. Meski masih bisa kudengar sayup-sayup suara musik mengalun dari halaman depan. Aku senang. Tidak ada orang di sana. Hanya ada aku dan pemandangan langit malam.
Kuhirup napas panjang. Menikmatinya aroma bunga-bunga yang ditaman di atas pot. Di antara pot-pot itu ada pot berisi bunga mawar merah yang aku berikan kepada Arlin sebagai kado ulang tahunnya yang entah ke berapa, aku lupa. Untunglah bunga-bunga itu dirawatnya dengan baik.
Lalu aku mendengar suara pintu digeser. Aku menoleh. Seorang laki-laki muncul dari balik pintu. Laki-laki itu berperawakan tinggi. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku pun tersenyum kepadanya. Ia berdiri di dekatku. Kuperhatikan wajahnya. Satu ciri khusus yang langsung bisa dikenali dari wajahnya adalah bekas luka di alis kirinya. Luka itu memotong alis itu menjadi dua.
“Kenapa ada di sini? Bukankah pestanya ada di sana,” tanyanya kepadaku.