Bali, 4 Februari 2014.
Untuk bisa sampai di pantai ini terlebih dulu aku harus menaiki bukit, setelah berada di atas bukit, aku berjalan turun di antara sela-sela batu karang. Butuh usaha lebih untuk sampai ke bawah. Semua usaha itu takkan sia-sia. Matahari baru saja muncul di ufuk timur. Aku tak ingin kehilangan momen ketika ia terbit.
Kuinjakkan kakiku di atas pasir putih. Angin berembus kencang. Ombak menerpa membasahi kakiku. Dia sudah menyatu dengan lautan. Tidak ada pusara, tidak ada batu nisan. Katanya ia ingin menyatu dengan alam. Kembali ke dalam pelukan alam. Setiap zat-zat yang membentuk tubuhnya kini berada di tempat yang seharusnya.
Tentu aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku tinggal memutar balikkan waktu. Aku bisa mencobanya lagi. Selama ini aku hanya kembali tanpa berpikir apa yang harus kulakukan. Aku sekadar kembali namun tak tahu apa yang membedakan usaha-usahaku sebelumnya. Mungkin bisa dibilang aku ini gegabah. Sebenarnya tak punya rencana untuk menyelamatkannya. Aku hanya dikuasai keinginan untuk bertemu dengannya lagi. Aku tak peduli kepada hal-hal lain. Mungkin aku sudah buta, dibutakan.
Mungkin orang-orang sepertiku tak seharusnya ada di dunia ini. Orang-orang yang punya kuasa atas waktu seharusnya lenyap saja dari muka bumi. Orang-orang yang bisa kembali ke masa lalu dan mengubah segalanya harusnya tak pernah dilahirkan. Untuk apa aku ada? Untuk apa kami ada? Hanya bertugas untuk mengacaukan aliran waktu yang sudah ada. Jika semua ini sudah ditakdirkan, apakah aku berhak untuk mengubahnya? Apa itu takdir? Apakah semua ini sudah ditentukan? Apakah aku masih punya kuasa atas apa yang terjadi kepadaku? Apakah aku benar-benar bisa memilih apa yang ingin dan apa yang tak ingin kulakukan? Terlalu banyak pertanyaan yang kupunya. Dan aku tak diajarkan untuk terlalu banyak bertanya.
Siapakah aku? Pertanyaan yang sederhana dengan jawaban yang sederhana pula. Aku tingggal menjawabnya dengan menyebut namaku. Tidak sulit. Namun tidak untuk orang sepertiku yang kadang meragukan tujuanku sebagai seorang manusia yang kebetulan bernama Juana. Nama menjadi tidak penting. Aku bisa memiliki nama apapun, namun tetap memiliki tujuan yang sama: mengubah aliran waktu.
Aku tak tahu kapan aku dilahirkan. Aku seperti terlahir dan menjadi dewasa begitu saja. Dari kecil aku diajarkan untuk menuruti perintah tanpa mengajukan pertanyaan. Kenapa aku harus melakukan ini? Kenapa aku harus melakukan itu? Tak boleh ada pertanyaan seperti itu. Jika aku diperintahkan untuk kembali ke masa lalu, maka akan kulakukan. Mereka sudah menentukan apa yang harus aku lakukan di sana. Aku tinggal melaksanakannya. Aku bahkan tidak perlu berpikir. Lakukan saja dan semuanya akan baik-baik saja.
“Melompat itu mudah. Pertama-tama kau pejamkan matamu. Kau kosongkan pikiranmu. Benar-benar kosong. Tak boleh ada yang mengganggu. Lalu rasakan aliran waktu yang mengalir di tubuhmu. Normalnya aliran itu maju ke depan, seperti yang biasa kau rasakan sehari-hari. Sekarang kau bayangkan aliran itu bergerak mundur, ke belakangmu. Perlahan-lahan. Lalu semakin cepat. Rasakan tekanan yang meremas-remas tubuhmu. Aliran itu sedang melawanmu. Biarkan saja. Semakin lama semakin besar tekanan yang kau terima. Kau akan melihat ingatan-ingatan dari peristiwa yang pernah kau alami. Biarkan saja sampai kau berada di tujuanmu,” terang mentorku ketika aku berumur lima belas tahun. Aku masih belajar melompat ke masa lalu.
“Seberapa jauh aku bisa pergi?” tanyaku.
“Tiga tahun.”
“Jika aku pergi lebih jauh dari itu, apa yang akan terjadi kepadaku?”
“Kau akan kehilangan ingatanmu. Semua hal yang kau lalui sampai hari ini akan terhapus. Kau takkan ingat dengan tugas yang diberikan kepadamu. Kau takkan ingat pembicaraan kita hari ini pernah terjadi. Kau akan berjalan sendiri dalam kebingungan. Kau tak tahu apa yang menjadi tujuanmu ketika sampai di sana. Atau, kau bisa saja mati. Jangan pernah bermain-main dengan sang waktu.”
“Apakah ada orang yang bisa melompat lebih jauh dari itu?” tanyaku penasaran. Jika ada orang yang bisa melompat sangat jauh, aku ingin mencobanya. Ketika itu yang ada di dalam benakku hanyalah aku ingin mengetahui siapa aku, dari mana aku berasal.
“Ada.”
“Apakah dia lupa dengan tugasnya?”
“Iya. Tentu saja.”
“Di manakah dia sekarang?”
“Mati.”
Kata ‘mati’ terdengar biasa saja di telingaku. Kematian tak pernah menyurutkan rasa ingin tahuku. Aku ingin tahu siapa yang mampu melakukan lompatan yang sangat jauh ke masa lalu. Aku ingin bertanya kepadanya bagaimana ia melakukannya.
“Apa yang menyebabkan dia mati?” tanyaku lagi.
“Karena dia bermain-main dengan sang waktu.”
Aku mengangguk. Sang waktu bukanlah seorang teman yang bisa diajak bermain-main. Kata-kata seperti itu terus dikatakan berulang kali.
“Bukankah untuk melompat enam tahun aku tinggal melompat tiga tahun sebanyak dua kali?” tanyaku.
Mentorku menggeleng. “Kau tak bisa melakukannya. Kau tidak bisa melompat jauh beberapa kali dalam satu waktu. Kau bukan mesin waktu yang bisa sewaktu-waktu dihidupkan dan tinggal kau pencet tombolnya dan langsung berfungsi, membawamu ke waktu yang kau inginkan. Tidak bisa seperti itu. Tubuhmu bukanlah baja atau titanium. Kau tak bisa menahan sang waktu yang ingin meremukkan tubuhmu. Tubuhmu hancur. Dan kau akan mati.”
Mati. Kata itu diucapkan berkali-kali, membuat kata itu terdengar biasa-biasa saja. Kita semua akan mati, bukan? Untuk orang sepertiku, mati adalah sebuah pilihan untuk tidak melakukan apa-apa. Menyerah kepada sang waktu.