Pohon dan Matahari

Nuka Asrama
Chapter #5

Juniper: Matahari

Jakarta, 1 Januari 2011.

Untungnya kamarku tidak diubah menjadi gudang. Kalau tidak, aku pasti tidur bersama tumpukan barang-barang yang sudah tak digunakan: buku-buku, kardus-kardus, bangkai televisi, bangkai kursi. Tidur beralaskan tikar pastilah membuat tidurku tak nyenyak. Badanku pasti sakit semua. Aku lega kamarku masih untuh tak tersentuh. Mungkin paman Yanus sudah tahu aku pasti kembali ke rumah ini. Memangnya aku mau pulang ke mana? Pulang ke surga? Pada dasarnya aku memang tak punya rumah. Kedua orang tuaku tak mewariskan sebuah rumah kepadaku.

Tak ada yang berubah dari kamar ini. Posisi semua barang-barangku masih berada di tempatnya. Mungkin hanya baunya yang agak apak. Wajar untuk kamar yang lama tak ada penghuninya. Mungkin selama aku tinggalkan, kamar ini dihuni oleh hantu. Kamar yang lama tidak dihuni bisa mendatangkan hantu. Begitu kata Agnes ketika aku lama tak pulang karena mengikuti KKN. Dia mengatakan, kebanyakan hantu tidak punya tempat tinggal tetap. Mereka berpindah-pindah. Karena itu mereka disebut hantu gentayangan. Ketika mereka melihat ada kamar menganggur, mereka akan mencoba tinggal di sana. Kalau dirasa cukup nyaman, mereka akan tetap tinggal sampai seseorang mengusirnya. Agnes tampaknya ketakutan saat menceritakannya. Dia memang penakut, tidak suka dengan kegelapan, tidak suka cerita seram. Namun dia menceritakan cerita seram itu kepadaku. Mungkin dia mencoba untuk menakut-nakutiku. Sayangnya cerita itu tak mempan untukku. Aku tak pernah takut kepada hantu. Aku tak takut karena aku tak percaya mereka ada, tak pernah melihat mereka. Mungkin aku akan takut jika salah satu hantu memperlihatkan dirinya. Mungkin juga tidak. Bisa saja aku penasaran dan malah ingin mengobrol dengan mereka. Aku penasaran bagaimana mereka bisa menjadi hantu gentayangan. Apakah ada urusan di dunia ini yang belum mereka selesaikan.

Agnes tidur dengan lampu kamar dibiarkan menyala. Sudah menjadi kebiasaannya dari kecil. Dia suka mimpi buruk jika lampu kamarnya dimatikan. Kalau tiba-tiba mati listrik, dia akan menginap di kamarku. Aku tak keberatan. Malah itu membuatku senang. Aku bisa bercerita tentang hantu yang menghuni kamarku kepadanya. Tentu saja dia ketakutan. “Kak Jun, hentikan!” pintanya sambil menutup kedua kupingnya.

Aku tertawa melihatnya meringkuk ketakutan. Dan aku masih saja bercerita hal yang seram kepadanya. Memang aku ini bukan seorang kakak yang baik. “Hantu itu nggak ada. Kalau pun ada dia nggak bakalan mau tinggal di kamar ini. Di sini sempit,” kataku kepadanya kemudian karena kasihan. Dia tidak mendengarkan. Mungkin rasa takutnya belum mau pergi. Kubiarkan saja dia meringkuk di dalam selimut. Dia akan segera tertidur. Dia akan lupa ceritaku. Ah, berada di kamar ini membuatku seakan kembali ke masa lalu.

Aku penasaran saat aku mati, apakah aku akan berubah menjadi hantu atau langsung pergi ke surga. Kalau pun aku menjadi hantu, mungkin aku akan menghuni kamar ini. Aku bisa melihat keadaan rumah ini. Mungkin bisa sedikit melakukan kejahilan kepada Agnes. Kubuka dan kututup pintu. Kuhidupkan dan kumatikan lampu kamarnya. Aku tak tahu ke mana ia akan melarikan diri. Aku sudah tak ada lagi sebagai tempat pelariannya. Tidak mungkin dia berlari ke kamar ayah dan ibunya. Dia sudah besar.

Apa mungkin aku jadi hantu gentayangan? Apa aku masih memiliki urusan yang belum terselesaikan di dunia ini? Aku rasa tidak. Urusanku sudah selesai. Aku tak punya urusan utang piutang. Apakah aku masih punya utang budi kepada seseorang? Sialan. Tiba-tiba saja air mataku menggenang. Kukira pergi itu akan mudah. Sebenarnya aku tak ingin pergi. Aku masih ingin berada di sini, berbuat semampuku untuk membahagiakan orang-orang di sekitarku. Aku ingin melihat mereka tersenyum dan tertawa untuk terakhir kalinya. Tanpa peduli perasaan mereka terhadapku. Bukankah itu adalah hal yang paling benar untuk dilakukan? Aku tak ingin mati membawa dendam. Aku tak ingin menjadi hantu yang tersiksa di dalam api keabadian. Aku ingin benar-benar selesai menjadi manusia. Ah, kukira pergi itu mudah.

Kuhela napas panjang. Kuusap air mataku. Sudah cukup. Kuangkat tubuhku dari ranjang. Duduk sebentar lalu melirik ke arah pintu. Aku ingin keluar dari pintu itu dan menjadi diriku yang baru. Ingin kulupakan semua pahit yang pernah terjadi di masa lalu. Aku ingin pergi dengan tenang.

Aku bangkit, berdiri di belakang pintu. Kuraih gagang pintu, kubuka pelan-pelan. Pintu terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Aku pergi ke dapur. Melihat bibi Hilda sedang memasak sarapan. Aku ikut membantunya. Meski sudah dua tahun tak tinggal di rumah ini, aku tak bisa melupakan kebiasaanku. Setelah sekian lama, baru kali ini aku merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada mereka. Mungkin karena jarak dan waktu sedikit melonggarkan segala macam rasa tak nyaman yang pernah ada.

“Terima kasih, Bi,” ucapku.

Bibi Hilda yang sedang menggoreng telur menoleh ke arahku. “Ngomong apa kamu?”

“Terima kasih, sudah mau membiarkan aku membantu.”

“Memang seharusnya,” kata Bibi Hilda ketus. “Itu, kau bersihkan dulu meja makannya.”

“Baik.” Aku menuruti apa perintahnya. Untuk di dapur, bibi Hilda adalah nakhodanya. Aku berperan sebagai anak buahnya.

Lalu datang paman Yanus. “Sudah selesai?”

“Kau duduk dulu. Ini sebentar lagi selesai,” kata bibi Hilda.

Paman Yanus pun duduk menunggu. “Agnes belum bangun?” tanyanya kemudian.

“Kau tanyakan saja sama anakmu itu, kemarin pulang jam berapa dia.”

“Tadi malam kau pergi bersama Agnes?” tanya paman Yanus kepadaku.

“Tidak. Aku pergi ke rumahnya Arlin.”

“Oh.” Paman Yanus manggut-manggut. “Betah kau kerja di Bali?” tanyanya kemudian.

“Iya, betah,” jawabku.

“Kau itu pergi nggak bilang-bilang. Bikin susah aja,” kata bibi Hilda.

Bibi Hilda meluapkan kekesalannya kepadaku setelah selama dua hari ini lebih banyak diam. Aku tak bisa mengatakan apa-apa selain meminta maaf kepadanya. Aku memang pergi tanpa pamit. Takut jika aku mengatakannya lebih dulu, mereka takkan membiarkan aku pergi. Aku pun langsung pergi. Lalu mengatakan kepada mereka aku pergi ketika aku sudah berada di Bali. Yang paling marah tentu saja bibi Hilda. Paman Yanus nyaris tak mengatakan apa-apa.

“Sudah-sudah,” kata paman Yanus.

Kemudian Agnes masuk ke dapur dengan mata setengah terpejam. Dia menggosok-gosok matanya sambil menguap. Rambutnya berantakan.

“Ke mana aja kamu semalam?” tanya bibi Hilda.

“Di rumah temanlah, Ma,” jawab Agnes. Dia kemudian duduk dan bersandar di kursi.

“Mandi dulu sana!”

“Cepet, Ma. Laper nih.”

Bibi Hilda menghela napas. Segera ia menghidangkan telur dadar untuk kami semua di atas meja.

“Telur lagi?” tanya Agnes.

“Memangnya kamu mau makan apa?” tanya bibi Hilda.

Agnes tak menjawab. Dia melengos, spontan bangkit dari kursi. Kursi bergeser dengan kasar. “Aku makan di luar aja.”

Bibi Hilda menggeleng.

Aku melirik ke arah Agnes yang berjalan keluar dari dapur. Sikapnya tak banyak berubah. Dia masih Agnes yang manja dan tak peduli. Aku ingin tahu bagaimana sikapnya ketika aku sudah tak ada, apakah dia akan peduli? Apakah dia akan bersedih? Apakah dia akan menangis?

Paman Yanus mengambil salah satu telur dadar itu dan meletakkannya di piringnya. “Makanlah, Jun,” ujarnya.

Aku mengangguk.

Dulu waktu aku masih duduk di sekolah dasar, kami berempat sering sarapan bersama. Aku dan Agnes sekolah di sekolah yang sama. Jadi setelah sarapan, paman Yanus mengantar kami berdua ke sekolah. Begitu terus berlanjut sampai kami masih SMP. Namun waktu SMA, aku dan Agnes beda sekolah. Jarak sekolahku yang lebih jauh membuatku harus bangun lebih pagi. Membuatku tak sempat sarapan. Aku tak lagi diantar paman Yanus. Aku pergi ke sekolah menggunakan angkutan umum. Untung saja aku tak sendirian. Aku ditemani oleh Arlin. Awalnya Arlin sering diantar ayahnya, namun setelah tahu aku naik bis ke sekolah, dia memutuskan menemaniku.

Aku menikmati telur dadar itu. Hanya dengan menu seadanya itu sudah cukup membuat perutku kenyang. Selama ini aku memang merasa tak nyaman tinggal di rumah ini, namun berada di tengah satu-satunya keluarga yang aku punya, rasa tak nyaman itu bisa kuabaikan sebentar. Aku ingin menjadi diriku yang baru. Bukankah begitu?

Selesai sarapan aku kembali ke kamarku. Berbaring sebentar. Merenung. Sudah tahun baru. Seharusnya aku punya resolusi baru. Apa yang bisa kuharapkan dari tahun baru ini? Mungkin akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Resolusi tahun baru hanya ada untuk diriku yang dulu. Ketika aku masih kuliah, aku ingin segera lulus kuliah. Setelah lulus kuliah, aku ingin segera bekerja. Meskipun akhirnya aku kerja sambil kuliah. Lalu tahun ini apa yang kuinginkan? Setelah bekerja, bukankah aku harus punya keinginan untuk menikah? Ah, mimpi. Keinginan itu tak mungkin bisa kucapai melihat kondisiku sekarang ini. Aku tidak perlu keinginan seperti itu. Pernah hidup saja aku sudah bersyukur.

 

Jakarta, 2 Januari 2011.

Ponselku berdering nyaring. Sudah seperti yang kutebak, Arlin meneleponku. Kami sudah punya rencana untuk pergi jalan-jalan. Sudah lama tak kami lakukan. Dia begitu bersemangat seperti biasanya. Dia mengajakku jalan-jalan ke mall. Katanya hanya aku yang dia butuhkan untuk menemaninya. Bahkan dia bilang tak butuh Rex. Kalau aku jadi Rex, aku pasti sudah kesal kepadanya.

Aku tak tahu apa menariknya mall. Tempatnya segitu-segitu saja. Tidak ada yang istimewa selain tempat makan dan toko bukunya. Arlin bilang dia mau membeli sesuatu. Entah apa itu. Sepertinya aku bisa sedikit menebaknya. Tidak jauh-jauh dari baju baru. Hei, ini tahun baru, sudah sepantasnya semua yang kita kenakan adalah yang baru-baru! Mungkin itu yang ada di dalam pikiran Arlin.

Arlin datang menjemputku. “Hei, Jun! Sudah lama nunggu?”

“Sudah seabad.”

“Let’s go!”

Kami pun berangkat. Selama di dalam perjalanan ia mengoceh tentang pesta tahun barunya yang terselenggara dengan sukses. Tidak pernah sebelumnya dia mengadakan pesta sebesar itu. Pesta itu adalah pesta yang paling meriah yang pernah dia adakan. Umur dua lima tahun pastilah umur yang istimewa baginya, sehingga perlu pesta yang meriah. Aku hanya manggut-manggut saja.

Aku tak tahu kapan terakhir ulang tahunku dirayakan dengan meriah. Mungkin tidak pernah. Keluargaku tidak pernah mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunku. Aku bahkan tidak ingat mereka pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku hanya ingat Agnes pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku ketika kami masih kecil. Setelah itu tak ada ucapan lagi.

Suatu hari Agnes pernah meminta dibikinkan pesta untuk merayakan ulang tahunnya. Ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dia ingin pesta yang besar karena dia ingin mengundang seluruh teman sekolahnya. Namun bibi Hilda tak mengizinkannya. Paman Yanus juga tak bisa mengabulkannya.

“Buat apa pesta ulang tahun? Buang-buang duit saja,” kata bibi Hilda.

Merayakan ulang tahun hanya mengingatkan kita pada jumlah umur kita yang masih tersisa. Begitu katanya. Agnes tentu saja sedih dan kecewa. Selama hampir seminggu dia ngambek. Tidak mau bicara kepada ibunya. Dia hanya mau bicara kepadaku. Aku mencoba menenangkannya. Dia tak mau mendengarkan. Pada akhirnya tidak pernah ada pesta ulang tahun yang ketujuh untukknya. Aku kasihan. Kubuatkan kejutan kecil untuknya. Aku membuatkannya kue ulang tahun. Aku membawa kue itu ke kamarnya sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Dia mengempas kue itu dan langsung pergi sambil menangis. Aku tak tahu harus berkata apa-apa. Kue yang kubuat dengan susah payah jatuh di lantai.

 

“Terima kasih udah mau nemenin aku,” kata Arlin.

“Sudah menjadi tugas hamba, Yang Mulia Ratu.”

Dia tergelak.

Lihat selengkapnya