Jakarta, November 2013.
Arlin mengajakku ke sebuah acara menanam pohon. Sejak kepergian Jun, ada banyak hal yang berubah dari dirinya. Dari seorang ratu pesta menjadi penggiat kegiatan sosial dan lingkungan. Mungkin itu adalah caranya untuk mengalihkan kesedihannya yang sangat dalam. Kepergian Jun sangat memukulnya.
Jun pernah mengungkapkan kekhawatirannya pada Arlin kepadaku. Ia tak ingin melihat Arlin bersedih atas kepergiannya. Selama orang-orang masih mengingatnya, mengenangnya di dalam hati, menurutnya tidak ada yang perlu sedih atas kematiannya. Ia abadi di dalam kenangan itu. Ia tak pernah mati di dalam ingatan. Jun benar. Ia tak pernah mati. Jika masa lalu dan masa depan adalah satu kesatuan, maka tak pernah ada yang mati. Mereka hanya berpindah dimensi. Tidak perlu ada yang bersedih. Tidak perlu ada yang menangis.
“Bayangkan dunia ini tanpa pepohonan. Bumi akan kering dan tandus. Akan ada banyak gurun pasir. Tidak ada lagi hutan. Sumber mata air perlahan menghilang. Bumi menjadi panas,” ujar Arlin seraya mengubur lubang yang sudah ia isi dengan bibit pohon sawo yang baru tumbuh.
Aku tak bisa membayangkan dunia tanpa pohon. Mungkin akan seperti yang Arlin katakan. Manusia mungkin takkan bisa bertahan hidup.
“Aku ingin melihat pohon-pohon ini tumbuh besar, memberikan udara yang segar kepada kita,” ujarnya seraya menyiramkan air ke pohon sawo itu. Lalu tiba-tiba tangannya berhenti. Matanya berkaca-kaca. Aku bisa melihat kesedihan yang ia tahan di dadanya.
“Tak terasa sudah setahun. Rasanya baru kemarin aku ngobrol dengannya. Banyak rencana yang ia buat. Dia bahkan sudah berjanji akan datang di hari pernikahanku. Kenapa? Kenapa dia harus pergi? Aku merindukannya. Sangat,” ucapnya lirih.
Rex mengusap-usap pundak Arlin, menenangkannya.