Denpasar, 8 Januari 2011.
Arlin mengantarku ke bandara. Ia memaksa. Kali ini aku tak bisa menolak. Kami bisa mengobrol sebentar dalam perjalanan. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu yang masih tersisa. Aku pun demikian. Waktuku sudah tak banyak lagi. Ingin kuungkapkan saja kepada Arlin tentang rahasia yang kusembunyikan, tentang penyakitku ini. Ia mungkin bisa memberikan semangat yang kubutuhkan. Tidak. Mungkin sebaiknya ia tak pernah tahu. Ia akan sedih. Ia mungkin lebih terpukul daripada aku. Aku tak ingin merusak keceriaannya.
“Seandainya kau mau tinggal lebih lama lagi. Aku belum puas,” kata Arlin yang sedang menyetir.
“Masih ada lain waktu,” ucapku.
“Kenapa nggak kerja di sini aja, Jun?”
“Jakarta itu sumpek,” jawabku.
“Iya, iya. Aku tahu.”
“Kau yang harusnya pindah ke Bali biar tiap hari bisa menemaniku.”
Ia menggeleng. “Nggak kebayang harus meninggalkan rumah dalam waktu yang sangat lama. Lagi pula aku sudah punya segalanya di sini. Tak ada alasan untukku pergi. Aku nggak sanggup melakukannya.”
“Kau takkan tahu jika belum mencobanya. Bali itu sangat menyenangkan. Tinggal di sana seperti berada di surga. Alam yang sangat indah, budaya yang nggak ada duanya di dunia. Kita seperti pergi berlibur tiap hari. Kau takkan menyesal pernah tinggal di sana. Percayalah.”
“Ya, aku percaya. Jangan kau coba racuni otakku, Jun.”
Aku tergelak. “Senang punya kamu, Lin.”
Dia tersenyum. “Me too.”
“Lin. Aku mau nanya sesuatu.”
Ia mengangkat kedua alisnya. “Mau nanya apa?”
Aku berpikir sejenak. Pertanyaan ini sudah seminggu ini bercokol di dalam kepalaku. Namun baru sekarang aku memberanikan diri bertanya kepadanya. Aku hanya tak ingin pertanyaan sederhanaku merembet ke pertanyaan-pertanyaan yang lain. Aku tahu Arlin adalah orang yang suka penasaran, terutama tentang kehidupanku.
“Menurutmu Jua itu orangnya seperti apa?” tanyaku.
“Jua?” Kedua alisnya terangkat, matanya terbuka lebar-lebar. Pertanyaanku sepertinya mengejutkannya.
Aku mengangguk. Aku hanya ingin tahu pendapat Arlin tentang Jua. Aku ingin tahu seberapa jauh Arlin mengenal laki-laki itu. Aku ingin tahu, aku penasaran. Wajah laki-laki itu selalu muncul di dalam kepalaku. Kadang ia datang di dalam mimpiku. Ia datang mengulurkan tangannya yang hangat, membawaku ke tengah cahaya yang menyilaukan mata. Apa artinya? Aku biasanya tak percaya mimpi punya arti. Mimpi hanya sebatas pikiran alam bawah sadar yang tak pernah berhenti bekerja. Namun, jika mimpi itu datang berkali-kali dengan bentuk yang sama, apakah mungkin mimpi itu punya arti? Katanya, bermimpi tentang seseorang artinya orang itu berpengaruh kehidupan kita. Apakah benar seperti itu? Aku hanya merasa ada sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya. Sesuatu itu sangat ingin kuketahui. Senyum itu, tatapan matanya itu, terasa sangat familier. Apakah kami pernah bertemu sebelumnya?
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang Jua?” tanya Arlin.
“Dia temannya Rex, ‘kan?” sahutku. Aku sudah siap jika Arlin bertanya yang macam-macam kepadaku.
“Iya, sih. Setahuku mereka teman dari kecil. Hei, tunggu dulu. Jangan-jangan kau naksir dengan Jua, ya? Wah, sudah ada kemajuan nih.”
Sudah bisa kutebak Arlin akan mengatakan hal itu. Ia pasti mengarahkan pembicaraan ini ke topik asmara. “Ah, bukan begitu. Aku hanya penasaran.”
“Aku nggak pernah melihatmu penasaran sama cowok. Ada apa ini? Kamu sakit ya?” Dia menempelkan telapak tangannya di dahiku.
“Aku baik-baik saja,” ucapku sambil menepis tangannya. “Dia mengingatkanku pada seseorang.”