Pohon dan Matahari

Nuka Asrama
Chapter #9

Juniper: Ilusi

Denpasar, 15 Januari 2011.

Setiap kali masuk ke rumah sakit, jantungku berdebar kencang. Aku takut berada di sini. Tempat ini membuatku tak nyaman. Aku juga takut jika ada orang yang kukenal melihatku. Mereka mungkin akan bertanya macam-macam. Aku takkan bisa menjawabnya dengan jujur.

Aku masuk ke ruangan dokter, duduk dengan perasaan was-was. Setelah berada di sana sekian menit, aku mulai merasa nyaman. Ketakutanku perlahan menghilang. Aku sudah siap.

“Sudah kamu putuskan?” tanya dokter Indra kepadaku.

Aku menggeleng. Pilihan-pilihan yang ada di depanku amat sulit.

“Sudah kamu beritahu keluargamu?” tanyanya lagi.

“Belum.”

Dokter Indra menggeleng. “Ini masalah serius. Kamu harus segera dioperasi.”

“Saya belum tahu apa yang harus saya lakukan. Saya takut.”

“Kamu nggak usah takut. Kamu akan baik-baik saja.”

“Mungkin biarkan saja seperti ini, Dok. Saya nggak mau nyusahin semua orang. Mungkin sudah jalannya begini. Saya sudah siap.”

“Kamu itu. Kamu nggak boleh bilang seperti itu. Jangan pesismis begitu. Kamu harus tetap berusaha, Jun. Berharap yang terbaik.”

“Pada akhirnya saya akan mati juga ‘kan, Dok?”

Dokter Indra menghela napas panjang. “Saya nggak tahu harus ngomong apa lagi sama kamu.”

“Maafkah saya, Dok.”

“Pikirkan kembali.”

Kepalaku dipindai lagi. Tumor itu masih ada di dalam kepalaku. Dia bertambah besar.

 

Denpasar, Februari 2011.

Terlalu banyak berpikir tidak baik untuk pikiran, katanya. Memikirkan masa depan tidak langsung membuat masa depan menjadi lebih baik. Memikirkan kematian tidak akan bisa membuat kematian pergi menjauh. Aku lebih suka memikirkan apa yang akan kulakukan untuk menghabiskan sisa hidupku. Aku mulai mencari kegiatan baru. Tentu saja kegiatan yang menyenangkan. Beruntung selama di Bali aku punya teman-teman yang menyukai petualangan. Mereka pernah mengajakku mendaki gunung. Tidak usah gunung yang paling tinggi seperti Gunung Agung, cukup mendaki Gunung Batur saja. Mereka pernah juga mengajakku kemah di pinggir Danau Buyan. Pemandangan di sana indah. Aku senang. Setidaknya bisa bikin aku lupa akan segala permasalahan hidup. Tak pernah kumerasa sedekat ini dengan alam.

Namun sayangnya, ketika selesai berpetualang di alam bebas, rutinitas kembali datang menghadang. Siklus ini terus berputar. Di akhir minggu merasa bebas, di awal minggu terasa seperti berada di dalam kurungan. Di saat-saat seperti itu seringkali aku teringat dengan Jua. Aku berharap dia ada di sini menemaniku mengobrol. Kuharap dia tak hanya menyelamatkan dunia, dia mungkin bisa membawaku keluar dari siklus yang terus berulang ini. Bodoh. Aku tak butuh dia untuk membuatku keluar dari siklus ini. Aku tinggal mati saja selesai urusan. Namun, sampai hari ini belum ada tanda-tanda aku akan mati. Agak melegakan namun tetap saja membuat jantung ini berdebar-debar. Mungkin jadwal kematianku agak tertunda. Masih ada proses yang harus kujalani di dunia ini sebelum Anubis datang menjemputku. Ingin kutanyakan langsung kepadanya, kapan aku akan mati? Sebagai dewa kematian, rasanya dia takkan mau membocorkan rahasia kematianku. Dia bisa datang tiba-tiba. Tanpa sadar dia sudah menuntunku ke alam kematian. Ah, lagi-lagi, aku memikirkan kematian. Sudah cukup!

Aku kembali ke kamar, langsung mendapati ponselku bergetar hebat di atas kasur. Aku penasaran. Siapa malam-malam begini yang iseng menelepon? Mungkin Arlin yang kangennya belum terpuaskan. Mungkin dari bos yang mau mengingatkan kerjaan kantor yang belum aku bereskan. Aku menatap layar ponsel itu. Nomor tak dikenal. Jangan-jangan telepon salah sambung.

“Halo.”

“Jun?”

Aku langsung mengenali suaranya. “Jua?”

“Bukan.”

Aku mendadak ragu, takut salah mengenali suara orang. Namun aku yakin itu dia. “Siapa?” tanyaku.

“Sang penyelamat dunia,” jawabnya.

Aku terkekeh. Dia mungkin bukan penyelamat dunia, namun dia menyelamatkanku dari kesunyian malam ini. Aku senang mendengar suaranya lagi.

“Senang bisa mendengar suaramu lagi,” ucapnya.

Ingin kujawab hal yang sama, namun lidahku rasanya terkunci.

“Apakah kamu ingin mendengar sebuah cerita?” tanyaku.

“Boleh.”

Aku mulai bercerita tentang kehidupanku di sini. Dia mendengarkan semua ceritaku dan juga keluh kesahku. Aku tak lagi merasakan sedih yang menyiksa. Aku merasa tak sendirian. Kadang aku berharap dia ada di dekatku, ingin melihat reaksinya ketika mendengarkan kisahku. Aku ingin dia mendongengkan kisah-kisah yang menarik untukku. Dia punya banyak kisah-kisah menarik. Aku ingin dia menemaniku jalan-jalan ke tempat yang tak pernah kukunjungi. Aku ingin... Hei, hentikan, Jun! Semua keinginan itu takkan mungkin terjadi. Waktu memburuku seperti cheetah mengejar rusa. Meski aku bisa berlari kencang, sang waktu melesat lebih cepat, lalu menerkamku tanpa pernah kusadari.

Ingin kukatakan saja rahasiaku kepadanya, bahwa hidupku takkan lama lagi. Aku tak ingin memendam rahasia ini sendirian. Namun apa gunanya kuceritakan kepadanya. Tidak ada. Hanya akan membuatnya merasa kasihan kepadaku. Aku tak butuh rasa kasihan dari siapa pun. Mungkin saja dia akan menjauhiku, menganggap tak ada gunanya berteman denganku. Tidak. Dia tidak mungkin sejahat itu. Mungkin aku yang jahat. Mungkin aku yang akan menjauhinya, karena tak ingin memberinya kesedihan.

 

***

 

Ponselku berdering lagi. Dering yang ke sekian kalinya di pagi yang cerah ini. Hari ini memang hari yang spesial untukku. Namun aku tak merasakan ada yang spesial. Hari ini berjalan seperti biasanya. Aku masih harus bangun pagi dan mandi.

“Selamat ulang tahun, Jun!” seru Arlin.

“Terima kasih,” ucapku.

“Aku kangen nih.”

“Ayo, cepet pesen tiket ke Bali sekarang juga.”

“Pengen sih, tapi...”

Lihat selengkapnya